Pliss jangan berhenti
Langkah masih beribu
Hutan masih berliku
Aral melintang masih menghadang
Pliss...pliss...jangan berhenti di sini
Apakah kita hanya memandang, setiap indah langit pagi yang menyambut? Apakah kita hanya memandang, setiap langkah semangat adik-adik kecil menuntut ilmu dengan seragam yang cerah? Apakah kita hanya memandang, setiap rekam jejak peristiwa yang disajikan media dalam setiap waktu jam berdenting? Mengapa kita tidak memberi makna terhadap itu semua? Bukan kah indera kita yang adalah anugerah dari Raja segala Raja tidaksebatas kedua bola mata yang membelalak saat menatap fatamorgana dunia?Di mana telinga, di mana hidung, lidah, kulit yang melekat pada jiwa-jiwa yang menjalankan kehidupan?
Di mana hati, yang membebaskan kita dari segala ancaman siksa neraka saat tetap menjaga dengan penuh pertimbangan? Di mana akal pikiran yang terus berkembang dengan hanya kau tatap tiap lembar jendela dunia yang tercecer sebagai tambang emas yang tak ternilai harganya? Mengapa kini kita hanya berlagak seperti hidup di dalam hutan belantara, merasa mampu berjalan sendiri, merasa cukup hidup untuk esok hari, merasa diri bukan bagian dari semesta?
Rohman duduk di atas sajadah panjang yang tersusun rapi di sebuah mesjid luas dan terkenal di ibu kota. Hari itu hari Kamis, langit mulai memerah dan suara manusia bertadarus terdengar merdu menggema tidak hanya di seputar mesjid bahkan sangat jauh hingga tadi Rohman berjalan kaki sekitar satu kilo menuju mesjid.
Rohman tidak tahu ada kebiasaan di mesjid tempatnya menanti sholat maghrib berjamaah saat itu memberikan makanan berbuka puasa sunnah Senen-Kamis gratis bagi setiap jamaah yang hadir. Ia hanya bingung menyaksikan beberapa marbot masjid sibuk membagikan nasi kotak dan segelas es buah segar kepada jamaah yang hadir namun sesekali hanya meletakkan setumpuk nasi kotak dan membiarkan jamaah mengambilnya sendiri sehingga berebut dan menimbulkan kegaduhan. Seorang Bapak berpakaian kurang rapi dengan dua kancing baju dibuka, rambut sebahu dan ikal tak terurus nampak sangat antusias mengambil nasi kotak tersebut. Satu kotak diambil kemudian dimasukkan ke dalam tas kosong, begitupun dengan kotak yang kedua. Kotak nasi ketiga baru dia perlihatkan untuk memberi tanda dia sudah mendapatkan nasi kotak untuk berbuka.
Sesaat kemudian datang tiga anak kecil berpakaian kurang layak duduk dan memasang muka melas berharap agar diberi nasi kotak. Marbot mesjid mendekat dan memberikan sekotak nasi, segelas es buah dan pisang satu buah.
"Kenapa hanya sekotak yang dikasih Bang?" Rohman bertanya kepada marbot.
"Anak-anak ini yang biasa di jalan setiap kita ada bagi-bagi makanan mereka juga pasti datang." Marbot menjawab sambil berlalu.
"Iya Bang jangan dimanjain ntar kebiasaan, di luar udah minta-minta di dalam mesjid minta-minta juga." Sahut Si Bapak yang tadi telah memasukkan dua kotak nasi ke dalam tas dan satu kotak untuk dimakan bersama.
"Tadi Bapak sudah mengambil dua kotak, sedangkan ketika ketiga anak kecil tadi datang mengapa tidak Bapak berikan saja dua kotak nasi yang ada di tas Bapak untuk kedua anak yang belum dapat?" Rohman sedikit terpancing emosi.
"Enak aja lo kata, ini kan buat anak sama bini gue di rumah. Udah lo ngga usah ngurusin orang lain! Masih bocah udah berani sama orang tua! Lagian juga tuh bocah-bocah kan juga belom tentu puasa?" Bapak tadi mencari alibi.
Jamaah yang lain merasa terganggu dan mulai salin berbisik satu sama lain.
"Bang udah ngga usah dipaksain, kalo si Bapak itu ngga bakal pernah ngalah." Bocah dengan baju bergambar film kartun anak menahan Rohman untuk tidak berdebat masalah nasi kotak.
"Tapi kita juga laper Bil, dari tadi pagi kita jualan koran bekas kan cuma kekumpul lima rebu." Bocah berkulit legam dan ingusan menentang kawannya.
"Iya Bil kan lo tau sendiri tuh Bapak juga tiap ada bagi-bagi makanan pasti dateng. Udah gitu dia kan kerjanya cuma minta-minta di depan gerbang masjid pura-pura udah sakit-sakitan. Mending kita ngga puasa tapi usaha jualan koran bekas." Bocah ketiga menimpali.
Rohman bingung, dia menyerahkan kotak nasi yang dia sudah pegang kemudian dia berbisik kepada ketiga bocah tadi.
"Emang yang tadi lo bilang beneran? Itu Bapak cuma minta-minta aja kerjaannya tiap hari?"
"Ya iyalah Bang, lo ke sini aja tiap hari pasti juga ketemu dia di depan gerbang mesjid sambil duduk pura-pura sakit." Bocah berkulit legam semakin semangat menceritakan kejelekan si Bapak tamak.
Rohman mendatangi ruang tempat marbot mesjid berkumpul kemudian keluar salah satu marbot dan mendatangi Bapak yang tadi mengambil tiga kotak nasi. Terlihat si Bapak gusar dan mengeluarkan dua kotak nasi yang tadi sudah di simpan di dalam tas. Si Bapak keluar mesjid dengan wajah kesal dan menunjukkan kepalan tangan kepada ketiga bocah tadi dan Rohman tentunya.
Rohman mendekati ketiga bocah tadi dan disambut dengan tiga raut wajah yang berbeda.
Si Bocah legam langsung menyambut dengan senyuman, "Bang makasih ya, baru kali ini kita makan dapet nasi kotak masing-masing :)" Rohman ikut tersenyum kemudian bingung melihat raut wajah bingung bocah kedua.
"Lo kenapa jadi sedih sama bingung gitu?" tanya Rohman kepada bocah yang dari tadi dipanggil Bil.
"Bang lo sekarang emang bener nolongin kita, tapi lo ngga tau Bapak yang tadi ancem kita mau dipukulin kalo ketemu di luar mesjid."
Sebelum Rohman menjawab, bocah ketiga menimpali pernyataan bocah kedua.
"Udah lo ngga usah pusing yang penting kita makan dulu. Lagian kita bertiga nah si Bapak yang tadi sendiri masa kita ngga berani?" Bocah yang satu ini selalu terlihat lebih tegas sejak awal.
"Jadi harusnya gimana dong?" Rohman bingung.
"Sebenernya Abang ga salah malah kita makasih banget udah dapet jatah nasi satu-satu, tapi lain kali komunikasi ke kita dulu Bang. Kita anak jalanan yang tau bahaya jalanan termasuk ancaman kaya tadi kita udah sering."
"Iya Bang udah ngga usah bingung, ini nasi kotak Abang tadi kan kita udah dapet dua kotak dari Bapak yang maruk itu." bocah legam menyerahkan kotak.
Tiga orang bocah yang tidak pernah tahu akan nasib dari persahabatan yang mereka jalani saat ini. Mereka tidak hanya memandang setiap sketsa hidup, tapi mereka tahu akan setiap kemungkinan bahaya yang dihadapi. Kelima indera bekerja dengan sempurna di alam liar sana. Alam yang bahkan tidak lebih jauh dari sebuah mesjid dengan gerbangnya, lebih menyeramkan dari hutan dengan segala binatang buasnya. Satu di antara mereka memiliki keyakinan atas sebuah pertahanan yang kokoh dari setiap bahaya yang akan menghampiri. Dari setiap keculasan orang dewasa serta ketamakan yang selalu ditunjukkan dengan mengatasnamakan sesuatu yang absurd. Rohman hanya bersikap sebagaimana semestinya tetapi dalam kasus ini dia berperan besar.
Rohman menyadari dia tidak akan mengawal ketiga bocah tadi dalam melanjutkan kehidupan selanjutnya, bahkan ketika sholat maghrob berjamaah selesai diselenggarakan dan dia harus berpisah dengan ketiga bocah yang sudah diancam oleh Bapak yang tamak tadi. Tapi tindakan Rohman melaporkan Bapak yang telah berbuat culas kepada marbot, sudah cukup menjadikan ketiga bocah tadi bersatu menentang ketidak adilan yang selama ini mereka rasakan. Pun bocah ketiga bahkan meyakini Rohman agar tidak perlu khawatir terhadap keadaan mereka karena mereka merasa yakin, apabila mereka bersatu maka mereka akan mampu mengatasi segala macam bahaya yang akan menghadang.
Jangan menyerah, jangan menyesal, kita hanya perlu mencari orang dewasa yang bijak, yang mengantarkan kita kepada sebuah keyakinan. Keyakinan akan kemampuan kita generasi muda melawan setiap keculasan dan ketamakan manusia yang telah memiskinkan dan menyengsarakan nasib jutaan rakyat di negeri ini. Jadikan pencarian itu sebagai tugas kita bersama.
Di mana hati, yang membebaskan kita dari segala ancaman siksa neraka saat tetap menjaga dengan penuh pertimbangan? Di mana akal pikiran yang terus berkembang dengan hanya kau tatap tiap lembar jendela dunia yang tercecer sebagai tambang emas yang tak ternilai harganya? Mengapa kini kita hanya berlagak seperti hidup di dalam hutan belantara, merasa mampu berjalan sendiri, merasa cukup hidup untuk esok hari, merasa diri bukan bagian dari semesta?
Rohman duduk di atas sajadah panjang yang tersusun rapi di sebuah mesjid luas dan terkenal di ibu kota. Hari itu hari Kamis, langit mulai memerah dan suara manusia bertadarus terdengar merdu menggema tidak hanya di seputar mesjid bahkan sangat jauh hingga tadi Rohman berjalan kaki sekitar satu kilo menuju mesjid.
Rohman tidak tahu ada kebiasaan di mesjid tempatnya menanti sholat maghrib berjamaah saat itu memberikan makanan berbuka puasa sunnah Senen-Kamis gratis bagi setiap jamaah yang hadir. Ia hanya bingung menyaksikan beberapa marbot masjid sibuk membagikan nasi kotak dan segelas es buah segar kepada jamaah yang hadir namun sesekali hanya meletakkan setumpuk nasi kotak dan membiarkan jamaah mengambilnya sendiri sehingga berebut dan menimbulkan kegaduhan. Seorang Bapak berpakaian kurang rapi dengan dua kancing baju dibuka, rambut sebahu dan ikal tak terurus nampak sangat antusias mengambil nasi kotak tersebut. Satu kotak diambil kemudian dimasukkan ke dalam tas kosong, begitupun dengan kotak yang kedua. Kotak nasi ketiga baru dia perlihatkan untuk memberi tanda dia sudah mendapatkan nasi kotak untuk berbuka.
Sesaat kemudian datang tiga anak kecil berpakaian kurang layak duduk dan memasang muka melas berharap agar diberi nasi kotak. Marbot mesjid mendekat dan memberikan sekotak nasi, segelas es buah dan pisang satu buah.
"Kenapa hanya sekotak yang dikasih Bang?" Rohman bertanya kepada marbot.
"Anak-anak ini yang biasa di jalan setiap kita ada bagi-bagi makanan mereka juga pasti datang." Marbot menjawab sambil berlalu.
"Iya Bang jangan dimanjain ntar kebiasaan, di luar udah minta-minta di dalam mesjid minta-minta juga." Sahut Si Bapak yang tadi telah memasukkan dua kotak nasi ke dalam tas dan satu kotak untuk dimakan bersama.
"Tadi Bapak sudah mengambil dua kotak, sedangkan ketika ketiga anak kecil tadi datang mengapa tidak Bapak berikan saja dua kotak nasi yang ada di tas Bapak untuk kedua anak yang belum dapat?" Rohman sedikit terpancing emosi.
"Enak aja lo kata, ini kan buat anak sama bini gue di rumah. Udah lo ngga usah ngurusin orang lain! Masih bocah udah berani sama orang tua! Lagian juga tuh bocah-bocah kan juga belom tentu puasa?" Bapak tadi mencari alibi.
Jamaah yang lain merasa terganggu dan mulai salin berbisik satu sama lain.
"Bang udah ngga usah dipaksain, kalo si Bapak itu ngga bakal pernah ngalah." Bocah dengan baju bergambar film kartun anak menahan Rohman untuk tidak berdebat masalah nasi kotak.
"Tapi kita juga laper Bil, dari tadi pagi kita jualan koran bekas kan cuma kekumpul lima rebu." Bocah berkulit legam dan ingusan menentang kawannya.
"Iya Bil kan lo tau sendiri tuh Bapak juga tiap ada bagi-bagi makanan pasti dateng. Udah gitu dia kan kerjanya cuma minta-minta di depan gerbang masjid pura-pura udah sakit-sakitan. Mending kita ngga puasa tapi usaha jualan koran bekas." Bocah ketiga menimpali.
Rohman bingung, dia menyerahkan kotak nasi yang dia sudah pegang kemudian dia berbisik kepada ketiga bocah tadi.
"Emang yang tadi lo bilang beneran? Itu Bapak cuma minta-minta aja kerjaannya tiap hari?"
"Ya iyalah Bang, lo ke sini aja tiap hari pasti juga ketemu dia di depan gerbang mesjid sambil duduk pura-pura sakit." Bocah berkulit legam semakin semangat menceritakan kejelekan si Bapak tamak.
Rohman mendatangi ruang tempat marbot mesjid berkumpul kemudian keluar salah satu marbot dan mendatangi Bapak yang tadi mengambil tiga kotak nasi. Terlihat si Bapak gusar dan mengeluarkan dua kotak nasi yang tadi sudah di simpan di dalam tas. Si Bapak keluar mesjid dengan wajah kesal dan menunjukkan kepalan tangan kepada ketiga bocah tadi dan Rohman tentunya.
Rohman mendekati ketiga bocah tadi dan disambut dengan tiga raut wajah yang berbeda.
Si Bocah legam langsung menyambut dengan senyuman, "Bang makasih ya, baru kali ini kita makan dapet nasi kotak masing-masing :)" Rohman ikut tersenyum kemudian bingung melihat raut wajah bingung bocah kedua.
"Lo kenapa jadi sedih sama bingung gitu?" tanya Rohman kepada bocah yang dari tadi dipanggil Bil.
"Bang lo sekarang emang bener nolongin kita, tapi lo ngga tau Bapak yang tadi ancem kita mau dipukulin kalo ketemu di luar mesjid."
Sebelum Rohman menjawab, bocah ketiga menimpali pernyataan bocah kedua.
"Udah lo ngga usah pusing yang penting kita makan dulu. Lagian kita bertiga nah si Bapak yang tadi sendiri masa kita ngga berani?" Bocah yang satu ini selalu terlihat lebih tegas sejak awal.
"Jadi harusnya gimana dong?" Rohman bingung.
"Sebenernya Abang ga salah malah kita makasih banget udah dapet jatah nasi satu-satu, tapi lain kali komunikasi ke kita dulu Bang. Kita anak jalanan yang tau bahaya jalanan termasuk ancaman kaya tadi kita udah sering."
"Iya Bang udah ngga usah bingung, ini nasi kotak Abang tadi kan kita udah dapet dua kotak dari Bapak yang maruk itu." bocah legam menyerahkan kotak.
Tiga orang bocah yang tidak pernah tahu akan nasib dari persahabatan yang mereka jalani saat ini. Mereka tidak hanya memandang setiap sketsa hidup, tapi mereka tahu akan setiap kemungkinan bahaya yang dihadapi. Kelima indera bekerja dengan sempurna di alam liar sana. Alam yang bahkan tidak lebih jauh dari sebuah mesjid dengan gerbangnya, lebih menyeramkan dari hutan dengan segala binatang buasnya. Satu di antara mereka memiliki keyakinan atas sebuah pertahanan yang kokoh dari setiap bahaya yang akan menghampiri. Dari setiap keculasan orang dewasa serta ketamakan yang selalu ditunjukkan dengan mengatasnamakan sesuatu yang absurd. Rohman hanya bersikap sebagaimana semestinya tetapi dalam kasus ini dia berperan besar.
Rohman menyadari dia tidak akan mengawal ketiga bocah tadi dalam melanjutkan kehidupan selanjutnya, bahkan ketika sholat maghrob berjamaah selesai diselenggarakan dan dia harus berpisah dengan ketiga bocah yang sudah diancam oleh Bapak yang tamak tadi. Tapi tindakan Rohman melaporkan Bapak yang telah berbuat culas kepada marbot, sudah cukup menjadikan ketiga bocah tadi bersatu menentang ketidak adilan yang selama ini mereka rasakan. Pun bocah ketiga bahkan meyakini Rohman agar tidak perlu khawatir terhadap keadaan mereka karena mereka merasa yakin, apabila mereka bersatu maka mereka akan mampu mengatasi segala macam bahaya yang akan menghadang.
Jangan menyerah, jangan menyesal, kita hanya perlu mencari orang dewasa yang bijak, yang mengantarkan kita kepada sebuah keyakinan. Keyakinan akan kemampuan kita generasi muda melawan setiap keculasan dan ketamakan manusia yang telah memiskinkan dan menyengsarakan nasib jutaan rakyat di negeri ini. Jadikan pencarian itu sebagai tugas kita bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar