Rabu, 03 Agustus 2011

Dibalik N.A.N.A.R *8



Jalannya Tuhan berliku berlalu
Mengarahkan tanpa tangan-Nya
Menunjukkan dengan penuh seksama
Melatih hati naik turun bersilih berganti
Kuatlah kuat...anak manusia


Diorama 8 :Gamang

Sudah bulat tekad Rohman untuk kembali mengunjungi sebuah kota kecil di Jawa Timur dimana dia menempa diri menjadi pemuda yang berbakti pada negeri. Pernah suatu waktu di tahun 2006, bersama kawan seperjuangannya semasa kuliah, Rohman memblokade jalan protokol di kota kecil tersebut untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda. Nampak gagah  Rohman menghadang setiap kendaraan yang akan berlalu, tiada gentar hati walaupun barisan "pendemo" selalu dihalau para aparat yang mereka sendiri tidak tahu mengapa diperintahkan untuk menghalau para pendemo yang mereka sendiri tidak kenal.

Saat itu George W. Bush akan hadir ke Indonesia atau tepatnya pagi itu mantan presiden negara "paling demokrasi" hadir menemui Bapak terhormat di Istana Bogor. Agendanya entah apa tapi yang pasti bagi mahasiswa saat itu (termasuk Rohman) adalah haram hukumnya bagi Bush untuk menginjakkan kaki di bumi nusantara. Pandangan masih lurus, murni belum dikelok-kelokkan oleh "kebutuhan dan keinginan", langkah masih tegap menolak setiap kata yang bernafaskan kapitalisme. Rohman sekali lagi berdiri di tengah jalan protokol untuk menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dengan kondisi saat itu.

Rohman akan mengunjungi seorang sahabat, seorang Kakak, seorang penunjuk jalan, atau bahkan seorang yang legendaris bagi dirinya. Orang ini bukan pahlawan, bukan pula tokoh politik, apalagi artis ibukota. Orang ini lahir di sebuah kota yang sama dengan kota dimana presiden pertama dilahirkan. Orang ini masih setia tinggal di kota tempat dirinya dan Rohman berjuang, minimal berjuang untuk sesuatu yang secara subjektif mereka katakan sebagai "hal yang tepat".

Bung, aku datang... hati kecil Rohman berbisik pada dirinya sendiri. Aliran darah yang kuat mengalir di dalam setiap nadi Rohman yang tidak tahan ingin menumpahkan seluruh uneg-uneg yang ada di dalam benaknya. Ketidak-mestian yang ia temukan pasca lulus dari bangku kuliah, apa yang salah menjadi abu-abu karena semuanya ternyata bisa "dibenarkan" di ibukota.

Tahun 2007, Rohman bersama karibnya yang biasa ia panggil Bung ini melakukan sebuah perjalanan yang jika dipikir tidak mungkin akan diulanginya kembali saat ini. Saat dimana mencari waktu luang adalah suatu hal yang hampir langka. Langka bukan karena tidak bisa dicari, tapi langka karena berkelahinya dua sisi hati karena saat ini tidak boleh lagi ada ke-ego-an hati karena sekali saja ego hinggap, maka munafik lah Rohman menyebut dirinya sendiri. Bukan apa-apa, waktu luang yang sengaja diciptakan untuk hal yang hanya bersifat mencari penghibur diri maka sama saja dengan bentuk kecil pengkhianatan terhadap rakyat yang telah berjerih payah mencari kepingan rupiah untuk kemudian "disisihkan" sebagian kepada negara. Bentuk pengkhianatan yang sudah dilakukan oleh beberapa oknum "pengumpul" uang negara karena kemudian tidak digunakan untuk mensejahterakan rakyat yang lain akan tetapi justru malah digunakan untuk mensejahterakan diri dan sanak saudaranya sendiri.

4 kota di satu propinsi dijelajahi oleh Rohman dan Bung tanpa pernah khawatir akan terjadi kelaparan, tersasar di tengah hutan di malam hari yang menyatukan batas-batas kota atau bahkan sejenak terpikir akan dihadang di tengah jalan oleh orang yang tidak bersahabat. Sebuah motor tua keluaran tahun 80-an milik Bung yang merupakan warisan turunan dari orang tua Bung yang seorang pensiunan pegawai Pemda adalah saksi sejarah perjalanan touring 4 kota yang dilakoni dua orang karib ini. Banyak kejadian di luar nalar namun dapat dilalui dan akhirnya menjadi kisah klasik yang selalu akan ditertawai bersama-sama antara Rohman dan Bung di kemudian hari. Kejadian yang paling tidak akan terlupakan salah satunya adalah saat mereka membuat perjanjian nyeleneh yang harus dipatuhi saat perjalanan dilakukan agar keduanya terhindar dari kecelakaan karena jalan antar kota di Jawa Timur lazim dilalui oleh truk-truk besar yang membawa barang baik itu hasil perkebunan ataupun barang lain yang akan diperdagangkan di kota yang lebih besar.

"Saiki ngene, awakmu karo awak'ku buat perjanjian piye?ha..ha..?" Bung mengingatkan
"Ngapain Cak buat perjanjian segala?kita kan hanya berdua, lagipula juga selalu bareng-bareng di perjalanan? Rohman bingung.
"Ngene loh...di dalam kondisi apapun, sing jenenge melakukan perjalanan iki meski ono sing dadi pemimpin ono sing dadi pengikut ben ono sing mengingatkan semisal aku ngantuk di perjalanan ya awakmu ki meski memperingati aku!" Bung serius menjelaskan.
"Oke...terus jenis perjanjiannya seperti apa?" Rohman menelisik.
"Jadi begini...Semisal awak'ku ngantuk waktu nyetir montor, awakmu harus nempiling pipiku ben aq langsung seger meneh!"
"Wah, aku ngga tega Cak?masa aku harus gampar sampeyan?" Rohman masih bingung.
"Wis tha lah...lek dikandani ojo ngebantah ae!" Bung menegaskan perkataan.


Tau apa yang terjadi kemudian?

Saat itu menjelang maghrib, Rohman dan Bung masih asyik berboncengan di jalan beraspal menuju Kota Trenggalek. Tidak ada lampu jalan, pohon-pohon tinggi rindang setia menemani di sisi jalan padahal sudah hampir satu jam perjalanan mereka lalui dan suasana tetap seperti itu. Rohman dan Bung saling diam dan tidak ada sedikit percakapan-pun dilakukan dan ini tidak seperti biasanya. Bung mengendarai motor legend-nya dengan kecepatan standar kemudian sedikit agak kencang ketika akan melewati kendaraan lain yang ada di depannya. Suasananya benar-benar sepi, jalanan hanya dilalui satu atau dua kendaraan dan sesekali truk besar yang membawa hasil hutan. Tiba-tiba sebuah cahaya terang mendekat mengagetkan Rohman namun Bung hanya terdiam dan seakan tidak terjadi apa-apa padahal sebuah truk sedang melaju kencang dari arah berlawanan.

PLAK..!
Sebuah tamparan keras tepat mendarat di pipi Bung sebelah kanan.
"JANCOOOK...!" Bung mengumpat namun seketika sadar ada truk besar yang akan menabrak dari arah berlawanan.
Stang motor dibanting ke kiri ditambah berat beban kedua anak muda tadi sehingga membuat motor hilang kendali dan jatuh di atas aspal di pinggir jalan.
Bung langsung bangun dan membenarkan posisi sepeda motor kemudian diam saling bertatapan dengan Rohman.

"Mau opo Man?" Bung spontan bertanya.
"Aku juga nggak ngerti tapi yang pasti sampeyan iku dlongop ae waktu ada truk di depan muka kita pas, Asu tenan!" Rohman mengumpat.
"Lah iyo...aku iku mau nggak sadar blass moro-moro awakmu ngampleng aku langsung sadar ono truk segede genderuwo neng ngarepku pas, Astaghfirullah...!" Bung beristighfar. "Iki sing aku maksud waktu awak'e ki buat perjanjian yo iki kamsude Le'..! "

Bung dan Rohman melanjutkan perjalanan untuk kemudian singgah di sebuah kedai yang menjual makanan ringan dan minuman. Bung bercerita panjang mengapa dia sengaja membuat perjanjian nyeleneh di awal perjalanan mereka. Ternyata perjanjian itu dibuat untuk mengenang teman Bung yang tewas seketika ketika melakukan perjalanan dengan Bung, sama seperti yang saat ini mereka lakukan. Kondisinya benar-benar tragis, Bung yang membawa sepeda motor dan saat itu hujan rintik-rintik di sebuah perjalanan dari Kota Tulung Agung menuju Kota Blitar. Mereka melalui jalan yang dikelilingi pohon rindang dan sepi, dan saat itu mereka asyik bersendagurau membicarakan teman wanita di sekolah yang ternyata sama-sama mereka berdua taksir. Bung sering menghadap ke belakang karena suara teman yang terhalang suara deru angin hingga pada sebuah tikungan tajam Bung tidak mengurangi kecepatan laju motornya dan dari arah berlawanan  sebuah mobil sedan hitam juga melaju dengan kecepatan tinggi. 

Bung kaget dan membanting stir motor ke kiri namun kondisi jalan yang licin justru membuat motor terpental dan jatuh kemudian terseret hampir 30Meter. Semuanya berjalan sangat cepat kemudian dalam beberapa detik mereka sudah dikerumuni oleh warga sekitar maupun pengedara kendaraan lain yang berlalu-lalang. Bung di bawa ke Rumah Sakit terdekat karena ada beberapa luka memar di sekujur tubuhnya termasuk jari tengah tangan kanan yang remuk sehingga tulang jarinya harus diganti dengan tulang palsu dari gips kecil yang membuat jari tengah tangan kanannya tidak bisa sempurna melipat. Jika kita lihat saat Bung berdoa setelah sholat, jari tengahnya seakan memberikan sinyal "fuck" bagi orang disekelilingnya, haha...

"Terus teman sampeyan itu apa kabarnya sekarang?" Rohman menyeruput kopi cete (kopi dengan ampas) dengan seksama.
"Konco ku iku matek Cong!" Bung menjawab keras.
"Matek maksudnya?" Rohman belum mengerti.
"Matek iku ya mati..meninggal...innalillahi...kembali ke haribaan-NYA! Opo neh? Dobol awakmu iku, asu tenan!" Bung kembali mengumpat.
"Innalillahi...kok bisa Bung?"
"Yo iso jenenge umur sopo sing ngerti? Cuk...awakmu iki ora cerdas blass...isin aku koncoan mbe' awakmu!" Bung bersungut mendengar pertanyaan Rohman yang tidak mencerminkan seorang mahasiswa cerdas. 
"Ya maksud aku..saat kejadian itu konco mu kenapa bisa meninggal?" sekarang Rohman mencomot pisang goreng hangat di atas piring yang sudah disediakan.
"Koncoku jare pendarahan, aku nggak pernah lihat dia sama sekali setelah kecelakaan iku." tatapan Bung seketika kosong dan gelas berisi kopi di hadapannya dibiarkan mengepul mengeluarkan asap.
"Jadi...kawanmu itu meninggal seketika terus kamu nggak pernah lihat dia lagi gimana toh? Ya kan orang meninggal dikubur ya nggak bisa dilihat lagi toh?" Rohman masih terlihat bego.
" Matek Le'..matek...marine kecelakaan iku koncoku pendarahan dalam neng ndase."
"Ndas apa Cak?"
"Yo Ndas mu iku pecah...Assuuuu...kowe iki longor nggak mari-mari!" Bung frustasi menjawab pertanyaan Rohman.


Pada dasarnya Rohman paham apa yang diceritakan oleh Bung, dia tahu semua cerita Bung waktu singgah dan menginap semalam di rumah Bung waktu semester 5. Ibunya pernah bercerita bahwa Bung pernah kehilangan sahabat karibnya dalam sebuah kecelakaan sepeda motor dan Bung merasa sangat menyesal karena dia yang mengajak sahabatnya tersebut untuk sekedar jalan-jalan. Sahabat Bung  biasa dipanggil Bonar, orang Batak yang sama sekali tidak galak, tidak pernah berkata keras dan bahkan sangat lembut dan baik hati. Bung dan Bonar bersahabat sejak kecil dan Bung sempat frustasi tidak ingin melanjutkan sekolah setelah kejadian itu, bukan hanya sekedar karena Bonar yang meninggal dalam kecelakaan, Bung yang baru tersadar dua hari pasca operasi pembuluh darah yang tersumbat dan operasi kecil lainnya mengakibatkan dia tidak dapat menyaksikan pemakaman Bonar setelah kecelakaan tersebut.

Rohman juga sempat berfikir, dua kali dia diajak Bung ke-rumahnya di Blitar dan dua kali pula ia ditraktir dawet ayu di depan sebuah gerbang besar di pinggir Kota Blitar yang tidak pernah Rohman tanyakan ada apa di dalam gerbang besar tersebut. Rohman hanya menyaksikan kedua bola mata Bung yang tiba-tiba kosong dan sesaat kemudian menitikkan beberapa butir air mata kemudian Bung kembali tertawa. 

Saat itu Rohman hanya berfikir sederhana, mungkin di tempat penjual dawet ayu yang sudah berusia lanjut tersebut, Bung menghabiskan masa kecilnya bersama kawan-kawan yang saat ini sulit dia temukan karena kesibukan masing-masing. Bung juga sempat bercerita bahwa Putri Indonesia yang berasal dari Blitar adalah kawan kecilnya dulu yang pemalu. Bung juga selalu mengajak Rohman ke Perpustakaan Bung Karno dan dengan semangat bercerita betapa dia sangat mengagumi Tokoh Proklamator tersebut dan Rohman-pun akhirnya mengamini bahwa memang Bung Karno pantas untuk menjadi tokoh idola sepanjang zaman.

Setelah kejadian nyaris kecelakaan yang dialami Rohman dan Bung tersebut, banyak sekali hikmah yang mereka berdua ambil. Perjanjian konyol yang mereka tepati saat itu ternyata menyelamatkan mereka dari maut. Pengalaman yang pernah dialami Bung ternyata bermanfaat pula bagi Rohman sehingga Bung merasa bersyukur karena tidak melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya dua kali. Toh akhirnya Rohman dan Bung berhasil mengelilingi tidak hanya empat kota namun ditambah lagi dua kota dan mengakhiri perjalanan di Kota Ponorogo pada tanggal 17 Agustus dan mereka rayakan bersama warga setempat menyaksikan puluhan kelompok Reog Ponorogo tampil di tengah jalan kota.
Sebelum mereka kembali ke Kota Malang, Bung pernah memberi nasihat penting yang tidak akan pernah Rohman lupakan.

"Man..kamu itu wis tak anggep dhulurku dhewe, adekku, konco akrabku, wong paling gendheng sing tak kenal...awakmu iku nggak cuma wani neng omongan tapi yo wani pisan neng tindakan, terus terang jarang arek mahasiswa zaman saiki koyo awakmu. Awakmu sering ngomong lek uang utowo rezeki iku selalu menghampiri jiwa-jiwa yang besar, kreatif serta jiwa-jiwa yang nggak pernah lelah membantu manusia-manusia lain yang membutuhkan. Semisal awakmu dadi wong sukses...opo iku dadi pejabat, pengusaha, mantri, dukun sakareppe wes....sing penting awakmu harus selalu iling bahwasanya Gusti ALLAH iku nggak tau turu! Segala ucapan dan tindakanmu nggak oleh meleset setitikpun dari Al-Qur'an lan hadist Rosululloh Insya Allah uripmu selamet dunyo lan akherat"


* * * 

Rohman menapakkan kaki menuju ruko pertokoan yang saat ini banyak bermunculan di kota-kota kecil di Indonesia. Tujuannya ternyata bukan untuk membeli makanan atau minuman, namun langkahnya mendekat ke sebuah ruko berukuran yang bukan digunakan sebagai ruko akan tetapi menjadi sebuah kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah.

"Assalamualaikum, tuku..." guyonan yang selalu dilontarkan Rohman saat akan berkunjung ke sebuah tempat.
"Wa'alaikumsalam...tuku opo? Assu nggak ndelok tha lek iki Kantor Notaris?" seorang lelaki bertubuh kurus mengenakan polo shirt berwarna merah dan jeans hitam menuruni anak tangga sambil mengumpat.
"Aku arep tuku raimu...oleh porah? piro hargane?"

Lelaki kurus tersebut memicingkan mata karena tidak dapat melihat siapa tamu yang datang dengan perkataan kasar yang tidak dapat diterima oleh orang pada umumnya. Mentari pagi yang bersinar terik menyapu wajah Rohman sehingga ia-pun tidak begitu melihat jelas siapa pemuda kurus yang turun dari tangga tadi. Rohman-pun mengambil resiko siap di tempeleng ketika orang yang turun dari tangga bukan si Bung yang dia maksud.


Lelaki tersebut mendekat ke Rohman sesaat kemudian
Plakk...! lelaki tersebut ternyata benar-benar menempeleng Rohman.
"Hasssuuu..." Rohman mengumpat.
"Jancuuuk...lapo koen rene?" ternyata lelaki yang turun dari tangga tadi benar adanya si Bung yang sesaat kemudian memeluk erat Rohman dengan masih memegangi pipinya yang baru saja di-tempeleng.

"Ojo kakean cangkem koen, iku balesanku atas perbuatanmu mbiyen awakmu nempiling awakku neng sepeda montor." Bung mengatakan tamparan tersebut sebagai balasan karena Rohman pernah melakukan hal yang sama ketika mereka sedang melakukan touring enam kota di Jawa Timur dengan motor tua milik Bung yang merupakan warisan dari Bapaknya.
Kedua sahabat tersebut saling berpelukan dengan erat dan tidak memperdulikan orang lain yang menatap dengan aneh mereka berdua. Keduanya saling tertawa lepas dan mengeluarkan kata-kata kasar khas umpatan orang Jawa Timuran yang pada dasarnya memiliki nilai filosofis, justru umpatan tersebut menandakan tingkat keakraban dua orang manusia.

Bung mengajak Rohman makan di warung "Warna-Warni" yang nota-benenya adalah warung gaul khas anak muda Malang dengan bervariasi makanan dan minuman yang menggugah selera. Keduanya masih tidak percaya akan bertemu lagi karena di satu sisi Rohman harus berjibaku bekerja di tengah kerasnya ibu kota sedangkan di lain sisi, Bung saat ini menjadi asisten seorang Notaris muda yang ternyata adalah kakak tingkat mereka semasa kuliah.

"Bung, aku ambil cuti tiga hari khusus untuk ngobrol karo sampeyan." Rohman membuka percakapan.
"Haisshh...awakmu mek telung dino neng kene? Telung dino yo ora cukup Cuk...arep lapo telung dino neng kene?" Bung dengan bahasa sehari-harinya.
"Ya nggak enak Bung, aku kan sekarang jadi abdi negara masa seenaknya ambil cuti? Tiga hari ini aja aku nggak enak sama teman-teman di kantor." Rohman mulai menyeruput Es Megamendung khas Warung Warna-Warni.
"Oiyo lali aku lek awakmu saiki dadi PNS yo? Wis ojo suwi-suwi...gajimu iku asale teko keringet rakyatmu dhewe Su'! Wes sesuk ae awakmu muleh ojo suwi-suwi!" sekarang malah Bung meminta Rohman untuk segera pulang karena menurutnya tidak baik bagi seorang abdi negara semena-mena mengambil cuti untuk kepentingan pribadi mereka.
"Halah...sampeyan itu selalu seperti itu." Rohman masih asyik menikmati Es Megamendung. "Aku ini menyisihkan waktu buat menemui sampeyan, karena aku sudah muak dengan kondisi di sekitarku apalagi di ibu kota!" Rohman memulai curhatnya dengan Bung.

Rohman memuntahkan segala uneg-uneg yang selama ini ia simpan kepada Bung mulai dari sistem birokrasi yang njelimet, fokus manusia yang berkutat pada syahwat mengejar materi dan lawan jenis, kultur para abdi negara yang sakarepe dhewe, para penjilat yang berkeliling di sekitar lingkup pekerjaan dan masih banyak lagi. Tapi fokus pertanyaan yang kali ini harus dijawab si Bung adalah mengenai ketetapan hati.

"Pertanyaan terakhirku Bung, ketika aku selalu  mendapat fasilitas saat akan berkunjung ke daerah dengan menggunakan pesawat yang nyaman kemudian menginap di hotel yang nyaman pula dengan uang saku yang sekali lagi membuat dompet semakin nyaman, apakah menurutmu aku akan tetap kembali ke jalan, menyaksikan rakyat negeri ini sengsara dan mau bergandengan tangan untuk mengajak mereka ke kehidupan yang lebih baik? Sedangkan banyak di antara pimpinanku enggan untuk berkunjung ke daerah pedalaman atau daerah perbatasan negara yang hidupnya sangat memprihatinkan." Rohman bertanya panjang lebar dengan semangat yang sesat kemudian dijawab oleh Bung.

"Asu...jawaban dari pertanyaanmu itu ada di sini...di sini...dan di sini." sambil menunjuk kening...dada dan...


bawah pusar.