Selasa, 19 April 2011

Dibalik N.A.N.A.R *7







Sudah tau hidup ini susah
Masih coba kau cari kemudahan
Sudah tau hidup harus berjuang
Masih judi kau hidup dan melacur
Kadang hati masih terus mencari sebuah definisi
Kadang mati masih tak temukan sebuah jawaban


Diorama 7 : Hiduplah Kehidupan

Rohman mendongakkan kepalanya seraya menatap jejeran pohon rindang tiap kali dia mengendarai sepeda motor di pagi hari dalam perjalanan menuju kantor. Pohon yang rindang, bergoyang tertiup angin dan sesekali hanya diam tidak ada pergerakan karena memang tidak ada yang membuatnya bergerak atau memang karena pohon tersebut tidak ingin bergerak. Pohon yang berdiri kokoh namun akhir-akhir ini terus ditebang dengan pledoi sepele mahluk zaman yang tidak ingin berpikir panjang, "Kalo hujan angin, banyak pohon tumbang Mas! Berbahaya bagi masyarakat yang sedang melintas." Sekali lagi mahluk zaman menyalahkan alam tanpa mau memandang apa kekurangan yang ada di dalam dirinya.

Tak berapa lama kemudian, roda sepeda motor memasuki gerbang besar dan menjulang tinggi bercat hitam dengan lima security rapi berdiri dalam formasi menyambut tiap tamu yang masuk. Kendaraan pegawai parkir di dalam sedangkan kendaraan tamu, parkir tepat di pintu masuk. Rohman mendapat senyum tulus para security tiap pagi dan malam hari ketika ia pulang. Senyum yang Rohman kategorikan "senyum tulus" itu tidak sembarang ia berikan. Senyum di pagi hari inilah yang membuat Rohman merasa hidup dan harus berjuang untuk kehidupan. Bukan untuk kehidupan dirinya, bukan untuk kehidupan bos-bos yang kadang ia memilah untuk sekedar disebut "Bos" atau "Pemimpin Sejati", tapi sudah mantap Rohman berkata "Perjuanganku ini, untuk senyum-senyum getir yang tertuang dengan ikhlas tanpa pamrih." Senyum rakyat jelata.

Banyak orang kita jumpai dalam menjalankan hidup, namun sedikit dari banyaknya orang tersebut yang dapat mendefinisikan dengan jelas apa itu kehidupan. Tahun 2008 awal, Rohman berkunjung ke sebuah rumah dosen yang ditunjuk untuk membimbingnya menyusun skripsi. Dosen yang awalnya dia benci karena telah memberinya nilai "D" pada Mata Kuliah "Etika Profesi" dan membuatnya harus mengulang di semester selanjutnya. Dosen yang ketika ia bertanya :
"Bapak Dosen yang terhormat, mengapa Bapak memberikan saya nilai "D" untuk mata kuliah yang Bapak ajarkan? Bapak tahu semester depan saya akan mengerjakan skripsi sehingga saya harus fokus dan tidak perlu memikirkan lagi mata kuliah yang harus diulang karena nilai yang...kurang menarik untuk dilihat pada lembar transkrip nilai saya?" kemudian dosen tersebut menjawab,
"Anakku Rohman mahasiswa kebanggaan Fakultas Hukum, aku tidak akan membodohimu dengan memberikan nilai "A" atau "A++" sekalipun, karena sesungguhnya kamu telah menyepelekan sebuah Mata Kuliah kunci."
"Mata kuliah kunci? Saya pikir, Mata Kuliah Teori Konstitusi, Praktik Pidana, Praktik Perdata itu baru mata kuliah kunci, sedangkan ini?" Rohman mengernyitkan dahi.
"InI Mata Kuliah Etika Profesi, kamu hanya hadir 60% dari 89% kewajiban menghadiri kelas saya kemarin?"
"Iya Pak, tapi saya sudah meminta izin untuk meninggalkan kelas beberapa kali karena untuk kepentingan yang lebih besar. Saya diutus Fakultas untuk mengikuti acara tingkat nasional dan saya merasa itu lebih penting untuk nama baik fakultas dan universitas."
"Rohman dengarkan saya!" nada bicara mulai meninggi. "Kamu adalah generasi penegak hukum negeri besar ini ke depan. Mata kuliah Etika Profesi adalah awal kamu menghargai apa yang menjadi kehidupanmu kelak. Bukan sekedar menjaga martabat fakultas atau universitas yang tidak ada apa-apanya ini. Kamu yang akan membawa nama bangsa ini menjadi harum di mata dunia, Rohman! Membawa harum tanpa pretensi, tanpa ego dan kejumawaan yang bersifat duniawi. Tidak ada yang perlu dibanggakan selain sebuah kejujuran dan ketulusan hati, Rohman!" Dosen mendekat ke wajah Rohman. "Hargai profesimu Rohman!" Dosen meninggalkan Rohman yang lidahnya tiba-tiba menjadi kelu.

Beberapa hari sejak pertemuan dengan dosen tersebut, Rohman tidak mampu tidur nyenyak tiap malamnya. Rohman mendapat dua gelar kebanggaan dari Universitas dan Fakultas dalam tahun yang sama. Dua gelar yang diperebutkan oleh lebih dari 2000 mahasiswa tingkat fakultas dan lebih dari 12000 mahasiswa tingkat universitas. Dua gelar yang membuatnya tidak perlu mengeluarkan sepeserpun uang untuk membayar biaya semesteran kuliah selama dua tahun berturut-turut dan tidak perlu memenuhi jam mata kuliah karena fakultas telah mengirimnya ke berbagai event di berbagai kota mewakili fakultas dan universitas. Beberapa gelar lain yang membuatnya dikenal dan disegani oleh mahasiswa-mahasiswa dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) "Dewa", atau di atas 3,6 dengan batas nilai tertinggi 4 atau prestasi-prestasi yang membuatnya tidak pernah sepi karena mahasiswi-mahasiswi terus mengelilingi sekedar untuk mengajak ngobrol atau pura-pura berdiskusi tentang kondisi sosial masyarakat.

"Apa aku tidak menghargai apa yang telah aku usahakan selama ini?" dalam sebuah malam, Rohman menyendiri di atas loteng rumah kosan sambil terus mendalami apa yang telah dikatakan oleh seorang dosen yang kebetulan saat Mata Kuliah Etika Profesi tersebut adalah saat pertama Rohman diajar oleh dosen tersebut. Bahkan dosen tersebut memang baru saja mengajar lagi setelah menyelesaikan kuliah S3 dan mendapat Gelar Doktor.

Siapa dosen ini? Rohman terus mengutak-utik data, menelusuri tiap tulisan yang pernah dosen tersebut buat dan ditemukanlah fakta bahwa dosen tersebut telah menciptakan beberapa buku yang laris di pasaran bahkan melebihi larisnya tulisan para tokoh yang sering muncul di televisi. Dari penelusuran tersebut pula yang membuat Rohman tertarik untuk berdiskusi lebih jauh tidak hanya tentang profesi hukum tapi juga tentang kehidupan.

Suatu sore saat masih kuliah, Rohman melihat dosen yang sedang ia cari jati dirinya tersebut mengendarai sepeda motor tua kemudian Rohman mengikutinya dari belakang dengan sepeda motornya. lima menit, sepuluh menit, lima belas menit mengikuti, motor dosen memberikan sein ke-kiri masuk ke sebuah komplek yang dikenal eksklusif oleh masyarakat di kota tempat Rohman berkuliah.

Oh pantes, dosen tajir siapa peduli mahasiswanya? itu pendapat yang pertama kali keluar dari benak Rohman melihat apa yang baru saja terjadi. Rohman terus menguntit dari belakang dan semakin mengikuti semakin berubah-ubah perasaan Rohman. Seorang Doktor, buku ciptaan yang laris di pasaran, sepeda motor tua, komplek perumahan mewah, berhenti di depan rumah tua dengan ilalang tidak terurus.

Kali ini Rohman memandang dari kejauhan karena sepeda motor dosen sudah berhenti di  depan sebuah rumah dan seorang wanita muda membuka gerbang kemudian dosen tersebut masuk ke dalam rumah. Sebelum memasukkan motornya, nampak wanita muda tersebut mencium tangan Si dosen.

Itu rumah siapa ya? pintu depannya hanya pagar kecil  yang hanya muat dimasuki sepeda motor, banyak rumput liar di sekelilingnya, rumah tua dengan tembok bercat kusam. Rohman menutup kaca helm, melaju sepeda motor dengan perlahan, saat tepat berada di depan rumah kemudian mencuri pandang ke arah rumah dan tercengang menyaksikan apa yang ditangkap oleh kedua lensa matanya.

Dua bocah kecil sedang berebutan meminta digendong oleh sang ayah. Ibu muda tersenyum melihat tingkah putra putri kecilnya. Seorang ayah yang adalah dosen mata kuliah Etika Profesi, yang dengan perkataannya telah membuat Rohman tidak mampu tidur dengan nyenyak selama dua minggu. Terakhir, rumah yang renta dengan rumput ilalang tak terurus, cat tembok yang kusam dan sepeda motor tua yang terpakir melintang di halaman semen telah membuat Rohman terdiam sesaat walau roda sepeda motor masih terus berputar.

Itukah rumah seorang Doktor dengan prestasi karya-karya yang luar biasa? Bahkan itu lebih cocok kusebut sebagai gubuk. Rohman mem-bathin.

Pandangan Rohman kosong, searah kemudian bulir-bulir air mata membasahi pipi Rohman dan embunnya membuat pandangan Rohman kabur.  

Aku malu Tuhan...

***

Tuhan telah memperjodohkan Rohman dengan Pak Hamid, Sang Doktor sederhana dan santun. Ketika Rohman mengajukan judul skripsi kepada Kepala Jurusan Hukum Tata Negara, sesaat kemudian keluar surat yang mengamanatkan Rohman agar menghubungi Pak Hamid dan menanyakan perkenan beliau untuk menjadi pembimbing skripsi. Rohman dengan refleks melonjak girang dan membuat Ibu Herlina sebagai kepala jurusan menjadi bingung ada apa gerangan.

"Ada apa Rohman, semangat sekali kamu membaca surat itu?" Bu Herlina mengangkat gagang kacamat ke dahi.
"Tidak ada Bu, terima kasih dan saya permisi dulu." Rohman mencium tangan Bu Herlina kemudian meninggalkan ruangan.

Enam bulan berjalan dan Rohman tidak membuang-buang kesempatan menimba ilmu sebanyak-banyaknya dengan Pak Hamid. Ilmu hukum, ilmu tata cara penulisan tugas akhir, ilmu menjadi peneliti, ilmu menangkap fenomena masyarakat dan yang paling utama, "Ilmu menjalani kehidupan". Dari enam bulan tersebut, Rohman menjadi lebih bijak, lebih sederhana menjalani hidup, melepas segala atribut jabatan di berbagai kegiatan kampus mulai dari ketua organisasi penelitian, utusan fakultas untuk Senat Mahasiswa, kepala bagian penelitian di organisasi masyarakat dan beberapa jabatan yang membuatnya sebagai mahasiswa sudah cukup nyaman dengan fasilitas yang disediakan. Rohman tidak lagi menghiraukan pendapat teman-teman yang masih asyik bermain-main dengan waktu. Pikiran Rohman hanya tertuju pada satu perkataan Pak Hamid, bahwa ia harus menjunjung tinggi profesi yang akan diembannya kelak dan menjaganya dari sebuah kesalahan paradigma tentang profesi hukum di negeri ini.

Rohman lulus dengan nilai skripsi "A". Pak Hamid adalah salah satu dosen penguji Rohman dan dua dosen senior lain. Tidak ada pembantahan sama sekali dari para dosen penguji terhadap skripsi Rohman, bahkan salah satu dosen yang seharusnya ikut menguji dan tidak bisa hadir saat Rohman pendadaran, hanya mengatakan "Tulisanmu tidak perlu lama untuk didiskusikan, tidak perlu lama untuk diberi apresiasi." Tidak hanya itu, hanya butuh kurang dari sepuluh menit bagi para dosen penguji pendadaran untuk memutuskan Rohman berhak mendapat nilai "A" tersebut. Pak Hamid tersenyum kemudian berbisik "Nanti aku numpang sepeda motormu tolong antarkan ke rumah ya Man, ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan." Rohman tersenyum kecil kemudian membalas berbisik "Bukan masalah Pak, tapi saya ingin merayakan ini dulu bersama teman-teman di kantin." dan keduanya pun tertawa lebar.

Rohman pun berkesempatan berkunjung ke rumah Pak Hamid. Seorang wanita yang pernah dilihatnya beberapa bulan yang lalu saat Rohman membuntuti Pak Hamid dari kejauhan, juga ikut menyambut kehadiran Rohman dan Pak Hamid.

"Perkenalkan, ini istri saya...Mah, ini mahasiswa Bapak yang sering Bapak ceritakan."
 Rohman mencium tangan seorang ibu yang masih sangat muda sehingga Rohman sempat berpikir mungkin Pak Hamid telat nikah.

"Rohman, kita bicara di luar saja ya? Putra-putri saya sedang tidur siang dan rumah saya tidak cukup nyaman untuk ngobrol."
"Oh baik Pak." Rohman mengikuti Pak Hamid keluar rumah dan ternyata Pak Hamid mengajak Rohman ke sebuah bangunan kecil atau yang lebih tepatnya pos ronda yang terletak tepat di depan rumah.

"Rohman, selamat ya atas kelulusanmu." sambil menepuk bahu Rohman.
"Ah, bisa saja Bapak ini. Apa jadinya saya tanpa bimbingan Bapak selama enam bulan terakhir?"
"Saya tidak banyak membantu skripsimu, tapi kamu...yang menjalankan sendiri apa yang ada di pikiranmu kemudian terciptalah sebuah tulisan yang luar biasa. Minimal untuk mahasiswa strata S1 seperti kamu ini sudah sangat luar biasa."
"Bapak bisa aja buat saya Gede Rasa." Rohman tertawa.
"Man, aku minta maaf atas perkataanku tempo hari."
"Perkataan yang mana ya Pak?" Rohman bingung."
"Bukan maksudku membuat kamu sakit hati, tapi sekali lagi...aku melihat sebuah potensi besar yang ada di dalam dirimu."
"..." masih bingung.
"Aku dulu pernah seperti kamu, aktif di kampus. Diminta fakultas dan universitas untuk mewakili pada tiap event lomba atau sekedar seminar di kota lain. Awalnya saya bangga karena dikenal dan segala macam kemudahan yang saya terima, tapi saat saya lulus kuliah...Saya harus menghadapi kenyataan bahwa saya melangkah sendiri untuk sebuah kehidupan yang lebih besar."
"Maksud Bapak?" tambah tidak mengerti.


Pak Hamid bercerita tentang perjuangannya selama ini untuk mencari sebuah makna hidup yang sesungguhnya. Pasca kuliah, dia menemukan pembelajaran yang sangat berarti sehingga membuatnya sesaat terhenti melangkah untuk menggapai cita-cita yang lebih tinggi.

Sederhana saja, Pak Hamid berasal dari sebuah desa terpencil yang letaknya di puncak gunung di selatan Jawa Timur. Desa yang sangat tertinggal dengan penduduknya bermatapencaharian sebagai pengumpul rumput untuk ternak milik majikan. Untuk mengantarkan rumput yang dikumpulkan, menuju rumah majikan-pun harus menempuh waktu dua jam karena harus menuruni gunung. Beruntung Pak Hamid sejak kecil dititipkan oleh orangtuanya kepada pamannya yang bekerja di kota. Pak Hamid dapat merasakan bangku sekolah SD, SMP, SMA yang lebih baik, kemudian berkesempatan untuk mencicipi bangku kuliah.

Selesai kuliah, Pak Hamid menerima tawaran melanjutkan S2 di sebuah universitas ternama di ibukota. Saat semua dirasa sudah dipersiapkan tiba-tiba Pak Hamid mendapat kabar dari pamannya yang mengatakan bahwa bapaknya sedang kritis. Saat itu pula Pak Hamid berangkat langsung ke rumahnya yang terletak di atas gunung. Betapa kaget Pak Hamid karena kondisi desanya tidak mengalami perubahan sama sekali. Jalan berbukit belum beraspal dan sangat becek bercampur tanah karena baru saja turun hujan. Pak Hamid terus melangkah, yang dipikirkannya hanya kondisi bapaknya yang sedang kritis.

Dua jam menuju puncak gunung, rumah renta beralas tanah keras, terpampang di hadapan wajah Pak Hamid yang tampak kelelahan. Kursi-kursi tampak berjejer di pelataran halaman dan tampak bapak-bapak sedang berbincang dengan suara perlahan. Tidak ada firasat apapun hingga Pak Hamid melihat bendera putih terbuat dari kertas minyak, diikat di tiang lampu penerangan jalan yang ditancapkan di pojok kanan halaman rumah Pak Hamid.

"Mas, Bapak sudah tidak ada. Sejam yang lalu Bapak meninggal." Laksmi, adik bungsu Pak Hamid memeluk Pak Hamid sambil menangis sejadinya.
Pak Hamid terdiam, dia hanya bergumam seandainya saja tidak perlu memakan waktu dua jam menuju rumahku, pastilah aku dapat berjumpa dengan Bapak untuk terakhir kalinya.

"Jadi, Bapak tidak sempat menyaksikan orangtua..."
"Tidak, itulah sebab aku mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan kepadamu." Pak Hamid tersenyum kecil. "Aku mencoba meraih cita-citaku setinggi langit dan mengejar prestasi sebaik mungkin, tapi aku tidak dapat menjumpai orangtuaku untuk terakhir kalinya karena jalanan menuju rumahku yang rusak."
"Lalu apa kaitannya dengan etika profesi yang Bapak ajarkan?" Rohman bertanya serius.
"Rohman anakku...jika saja presiden kita memahami bahwa profesi yang diembannya membuat dia merasa bertanggungjawab akan kemajuan bangsa ini, jika para anggota Dewan perwakilan Rakyat yang mencap diri mereka sebagai wakil rakyat yang hanya mau melihat tidak hanya mendengar apa yang diteriakkan rakyat, jika semua orang menghargai serta menjalankan setiap profesi yang mereka sudah raih, maka tidak perlu ada lagi kisah seperti yang saya alami saat itu."
"Bapak berkata seperti itu karena Bapak menghalami hal yang tidak mengenakan Bapak bukan? Bisa jadi dalam hal ini Bapak berbicara dengan ego tersimpan?"
"Tidak anakku! Pernahkah kau mendengar janji-janji para pemimpin kita sebelum mereka duduk di kursi jabatan mereka saat ini?Kepada siapa sebenarnya mereka berjanji?"
"Kepada rakyat tentunya?"
"Rakyat yang mana? tujuh belas tahun aku meninggalkan rumah, aku berpikir sudah ada perbaikan kondisi desa tempatku tinggal. Saat akan diselenggarakan pemilihan umum, seluruh masyarakat di desaku di boyong ke kota sekedar untuk menyaksikan salah satu kandidat calon pemimpin itu berkhotbah dan menebar janji-janji palsu dengan mengatakan akan membangun jalan yang mempermudah akses masyarakat ke desa. Semuanya palsu!" Wajah Pak Hamid berubah menahan amarah.
"Lalu apa yang telah Bapak lakukan untuk desa Bapak setelah kejadian tersebut?"

Pak Hamid masuk ke dalam rumah dan mengambil beberapa album foto yang berisi foto masyarakat sedang bergotong-royong membangun sesuatu yang kemudian diketahui mereka sedang membangun jalan desa.

"Rohman anakku, kamu pernah membaca buku ini?" Pak Hamid menyodorkan sebuah buku yang Rohman sangat mengetahui bahwa ringkasan buku itulah yang Rohman baca artikelnya di internet dengan tambahan berita bahwa buku tersebut sudah terjual ribuan eksemplar.
"Wah, saya sangat tahu buku ini. Buku yang Bapak buat dan saya sudah cari ke banyak toko buku termasuk toko buku terkenal di ibukota, semua bilang buku ini sudah habis terjual. Bahkan sudah tujuh kali cetak ulang..."
"Hahahaha...tau banyak rupanya kamu tentang tulisan aku? Tapi kamu pasti tidak tahu..."
"Apa yang saya tidak tahu Pak?"
"Seluruh royalti yang aku dapatkan dari menulis buku itu semua sudah lenyap."
Rohman bingung, "Wah, royalti ratusan juta Bapak gunakan buat apa memangnya?Kenapa rumah Bapak kecil seperti itu?" Rohman terdiam setelah menyadari apa yang telah dia katakan mungkin saja menyakiti perasaan Pak Hamid.
"Hahaha..." Pak Hamid malah tertawa terbahak-bahak. "Rohman, lihat itu foto besar yang aku pajang di depan rumah!" sambil menunjuk sebuah foto bergambar jalan yang mampu dilalui dua mobil berukuran sedang dengan anak kecil sedang bermain di sekitarnya.
"Royaltiku sudah aku sulap menjadi itu Rohman, hahaha..."

Rohman langsung beranjak dari pos ronda dan mendekati foto berukuran besar hampir setinggi bahunya yang terpampang megah di depan rumah Pak Hamid. Rohman menatap tajam kemudian tanpa disadari mengalir deras air mata di pipi. Rohman menyadari sepenuhnya bahwa dia sangat salah selama ini menanggapi perkataan keras dari Pak Hamid. Tentang gelar Doktor yang ia miliki, tentang rumah sederhana yang ia tempati, tentang istri mudanya yang cantik dan putra-putrinya yang cerdas dan ceria, tentang pemaknaan sebuah profesi dan tentang...kehidupan.

"SEKARANG SEMUA ANAK PERANTAUAN SEPERTI SAYA SUDAH TIDAK RAGU LAGI MENGUNJUNGI ORANG TUA MEREKA DI DESA, ROHMAN...SEKARANG ANAK-ANAK-KU DI DESA SUDAH BERSEKOLAH DAN MEREKA SEMUA CERDAS-CERDAS...SEKARANG PEMUDA-PEMUDA DESA BANYAK YANG MENJADI ORANG SUKSES DI KOTA DAN BERSAMA MEMBANGUN DESA!"

"APA LAGI YANG BAPAK TAHU TENTANG KEHIDUPAN? CERITAKAN KEPADA SAYA PAK?" Rohman berseru dari depan rumah Pak Hamid.


"HIDUP ITU BUKAN SEKEDAR UNTUK HIDUP, TAPI HIDUPLAH UNTUK MEMBERI MAKNA KEHIDUPAN  BAGI MANUSIA-MANUSIA LAIN DI MUKA BUMI INI ROHMAN...HAHAHAHA..."

KAMU BENAR-BENAR SAKIT JIWA PAK....! Rohman berteriak dalam hati sambil tersenyum lebar.