Siapa kamu
Diam membisu
Ini hanya ubah sesaat
Sesaat langkah dan berlari
Sambutlah ini tangan tanpa berfikir
Ingat saat Kita kuat dan inilah roda berputar
Diorama 2 : Bertahan
Aku : "Kuat itu dua..."
Bawor : "Siap, Cak!" (panggilan untuk laki-laki yang lebih tua).
Aku : "Sudah berlaku apa kamu hari ini? Ada perlu aku di sini?"
Bawor : "Biasalah, wanita." (tertunduk)
Aku : "Cepat ku laju sepeda motor, kita bicara tentang wanita?" tanpa sadar dahi mengernyit.
Bawor : "Kemana aku harus cerita. Aku jemput dia ke ibu kota hancur aku lihat dia jalan dengan lelaki lain."
Aku : "Mati kamu besok!" Aku toyor kepala Bawor.
Bawor : "Ojo ngono lah, Cak Rohman ndhelok aku serius mengais rezeki terhambat sing sitok iki."
Aku : "HASSSHH....tolong itu sego' kucing dua bungkus, puyuh dua, gorengan dua, kasih kuah sayur tahu."
Bawor : "Piye nasib ku Cak, sesuk muleh aku lek dino iki sampeyan nggak kasih masukan."
Aku : "Mau sepatu ini mendarat di mukamu?" Aku angkat sepatu bagian kanan dengan satu tangan.
Bawor : "Iyo Cak ojo dikampleng aku tak jupuk pesenanmu, Sem..."
Aku : "Asem dhewe...!"
Bawor paling muda, paling semangat menjalani hidup sebagai manusia. Matanya sayu, rambutnya gondrong dengan perut tambun akibat berhenti fitness. Dulu di kampus dia paling disegani sama dosen dan dekanat. IP terancam Cum Laude bahkan dia yang meminta ke bagian kesekretariatan agar nilainya dikurangi 0,5 point agar tidak Cum Laude dengan alasan sederhana.
Aku males maju ke depan cium tangan sama cecunguk-cecunguk itu.
Saat itu Oktober 2005, aku sudah lama berkecimpung di sebuah pergerakan di kota kecil di ujung Jawa. Status ku mahasiswa lepas, aku bebas memilih kapan masuk kuliah karena tidak ada lagi peduli dalam tiap mata pembimbing hidup di hadapanku. Ingat saat itu Ibu sampai sakit menerima sepucuk surat berisi aku harus segera lulus sebelum akhir tahun atau akan ada Surat Peringatan langsung dari Dekan. Pulang ke rumah aku baca "surat ancaman" itu aku robek dan aku hempaskan ke udara tepat di hadapan Ibu ku.
Kenapa suratnya dirobek Man? Ini dari kampus, ini surat resmi Man? Ibu panik.
Aku bilang saat itu tidak perlu khawatir karena kita yang membuat mereka tetap hidup dari SPP yang kita bayar tiap semester. Mereka tidak pantas mengusir jiwa-jiwa haus ilmu sebagai bibit perbaikan negara yang hampir ambruk ini. Kewajiban mereka hanya membimbing dan mentransfer ilmu yang aku anggap seadanya untuk beberapa pengajar.
Kembali ke kampus, aku temui bagian Kepala Administrasi Kemahasiswaan. Aku bawa sisa robekan surat itu dan aku tebar di meja kerjanya yang lebih pantas disebut "meja siskamling" karena tidak ada berkas apapun di atas mejanya hanya sebuah cap yang mengkilap.
Aku tanya siapa yang mengeluarkan surat itu karena setelah aku telusuri memang hanya beberapa mahasiswa saja yang menerima seperti Lukman, Azis, Limbuk, Izul dan ini semua adalah teman satu paham yang memang sering membuat Dekanat keringat dingin karena semua data keuangan kampus kami pegang. Pak Darto bilang Pembantu Dekan 1 yang mengamanatkan agar terjadi perputaran mahasiswa dengan baik dan dia bilang semakin cepat mahasiswa lulus maka semakin tinggi nilai anggapan masyarakat terhadap kredibilitas kampus tersebut. Aku pikir sederhana, ini hanya untuk mengusir para aktivis yang betah tinggal di kampus hingga tujuh bahkan sepuluh tahun dengan berbagai niatan. Hari itu juga aku temui Pembantu Dekan 1 dengan sedikit wejangan, sekali lagi surat terkirim ke alamat rumah yang membuat Ibu ku sakit seperti kemarin, maka mereka para cecunguk harus siap tidur di atas lantai dingin penjara karena sudah aku pastikan data-data pungutan gelap setiap mahasiswa baru yang masuk melewati "jalur khusus", akan berpindah ke tangan penegak hukum.
Kembali ke Bawor, hanya perlu dua bulan untuk mendengar nama Bawor bergema di seantero kampus, bahkan universitas. Bawor yang keluar ruang kelas saat kuliah karena dosen kurang mampu mengatasi tingkat kritis Bawor dalam mata kuliah Pancasila. Bawor yang membuat kantin hancur berantakan akibat tawuran antar mahasiswa baru yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak universitas ini berdiri. Bawor yang hadir sendiri dalam rapat penentuan besarnya jumlah SPP persemester dan hanya akan membayar empat ratus ribu tiap semester dan akhirnya didukung oleh seluruh orang tua mahasiswa yang hadir. Bawor yang ini, Bawor yang itu, Bawor yang dikagumi banyak wanita angkatan tua.
Bawor yang di akhir tahun aku kuliah menangis di hadapanku karena ketika dia merasa "berilmu" maka tidak selamanya teman-teman mau menerima dia menjadi pemimpin. Terbukti dia tidak terpilih sebagai jago dalam acara Pemilihan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa kampus bahkan dari teman-teman yang selama ini dia bantu akademisnya.
Aku salah apa ya Cak sampai konco-konco nggak gelem milih aku dadi calon presiden?
Saat itu aku hanya berkata Presiden hanya logo yang menempel di dahi, pemimpin adalah kosa kata yang lebih tepat buat jiwa-jiwa tangguh seperti kamu. Bawor menunduk dan tersenyum.
Bawor : "Iki Cak pesenan sampeyan." Bawor duduk lesehan di hadapanku.
Aku : "Kamu diet? Nggak makan sekalian?"
Bawor : "Iki aku tas mangan nongko, aku ngroko'an ae Cak santai."
Aku : "Gimana si Yusuf punya kabar?" Aku mulai menyantap nasi kucing di hadapanku.
Bawor :"Lah, lapo ngurusi Yusuf? De'e wes muleh neng Ambon melu tes PNS."
Aku : "Udah lulus rupanya si Yusuf? Kenapa dia nggak kasih tau ke aku?" sambil terus makan.
Bawor : "Ealah Cak, opo perlu sertifikat lulus si Ambon iku? Lah Ebese iku wong penting neng Ambon, dadine wes mesti ketompo neng Pemkot Ambon."
Aku : "Perut sudah pindah ke kepala."jawabku ringan.
Bawor : "Cak terus masalahku piye?" garuk-garuk kepala.
Aku : "Kamu bener pindah ke kota ini hanya untuk menjemput pacarmu?" aku mencuci tangan dengan kobokan yang sudah dicampur dengan daun kemangi.
Bawor : "Yah... sekitar 60% iyo Cak. Lah Aku neng kampung wes iso dadi PNS lah kan Ebes ku yo pejabat pisan hehe..." nyengir kuda.
Aku : "Ya, kamu lebih parah"
Bawor : "Opo'o Cak?"
Aku : "Otak sama kelaminmu sudah pindah ke kepala."
Bawor : "Ya Allah Cak ket mau aku dipisui thok'e? Wes aku tak muleh saiki." Bawor mengambil tas berlagak ingin meninggalkanku.
Aku : "Pulang sana! Dasar cemen!" Aku masih duduk di atas tikar.
Bawor : "Cak!" Bawor memelas dan raut wajahnya seperti anak kecil minta naik odong-odong.
Aku : "Kamu sudah berani menginjakkan kaki di kota besar ini. Aku butuh kamu untuk beberapa tahun ke depan tapi ingat...Aku bukan orang yang bisa membayar kamu mahal."
Bawor : "Urusan penting? tapi masalahku gimana?" Bawor masih berdiri.
Aku menyerahkan handphone ku dan membiarkan Bawor memilih satu dari beberapa foto wanita yang aku tunjukkan.
Bawor : "Cak sampeyan aseum temenan'e, aku masih sayang sama Mila lah kok disuruh milih cewek liane?"
Aku : "Mau...aku kasih nomornya, nggak mau...ya bukan rezekimu." kunyalakan rokok, berdiri dari tikar dan bersiap meninggalkan Bawor untuk pulang ke rumah.
Bawor : "Iyo Cak aku milih Cynthia piro nomor hape-ne?"
Aku : "Asu..."
Kita berpisah.
Bawor adalah pendiri "Sekolah Rakjat" di kota tempatku menimba ilmu dulu. Bawor menciptakan lebih dari lima puluh pengajar sukarela dari kalangan mahasiswa berprestasi di seluruh fakultas untuk kemudian disebar ke beberapa daerah terpencil dan mengajar anak-anak kecil yang orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah. Maksimal bapak-bapak di sana adalah pengumpul rumput untuk ternak majikan yang dititipkan kepada mereka.
Bawor ibarat sniper dalam setiap pertempuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar