Lama tak ubah
Mata yang menatap sama
Hidup yang hitam putih
Hati yang menjadi banal
Fikiran yang tak teralirkan, darah segar...
Diorama 6 : Adagium sebuah "Tujuan"
"Apakah kau merasa bersalah ketika memukul seekor nyamuk hingga mati, padahal ia menghisap darahmu hanya untuk sekedar bertahan hidup?"
"Kau menyamakan manusia dengan seekor nyamuk?"
"Iya, apa bedanya?Toh mereka sama-sama menyusahkan mahluk lain."
Rohman termenung sesaat menyaksikan cuplikan sebuah film pendek karya seorang anak SMA. Manusia yang disamakan dengan nyamuk yang tiada beda turut menyusahkan mahluk lainnya. Tiada beda karena nyamuk menghisap darah hanya untuk bertahan hidup. Sebenarnya apa yang menjadi motivasi hidupmu ketika esok Tuhan masih memberikan kesempatan untuk menikmati indah segala Maha Karya-NYA?
Rohman yang seorang "abdi negara" dahulu orang bilang, semakin merasa terpojok atas segala tuduhan penyesalan yang dilakukan oleh sisi bathin dirinya. Mengapa harus berjalan di track ini, mengapa bukan di jalur yang lain? Mengapa tidak menjadi artis yang atas segala kepura-puraannya kemudian produser mau membayar mahal? Mengapa tidak menjadi pedagang handphone atau laptop atau apalah yang sangat diminati jiwa-jiwa konsumerisme yang memiskinkan negeri? Mengapa tidak menjadi wakil rakyat yang memang dibayar mahal atas klaim dirinya menyuarakan kaum-kaum minoritas yang akhirnya terhempas oleh kebijakan pimpinan partai yang oportunis? Mengapa bukan ini tetapi itu? dan mengapa-mengapa lainnya yang tidak pernah akan terjawab.
***
"Bang Rohman bagaimana kabarnya? Sudah lama tidak beli gorengan saya yang paling murah dan paling uenak?" Mas Aswan menyapa Rohman sambil tetap menggoreng dan sesekali menghapus bulir-bulir keringat dengan handuk kecil yang disampirkan di bahu.
"Oh, iya Mas kebetulan saya sudah kerja dan pulang sudah larut jadi jarang keluar rumah. Mas Aswan apa kabarnya?" Rohman membalas dengan senyum.
"Saya dengar Bang Rohman sudah jadi pejabat sekarang ya? Apa kerja di Pemda ya? Wah, alhamdulillah kalo begitu, tapi pesan saya jangan lupa dengan kaum alit seperti saya Mas?"
"Ah, bisa saja Mas Aswan ini. Saya hanya pegawai biasa saja dan itupun bukan di kantor Pemda. Insya Allah saya selalu komitmen untuk tidak menghindari atau mungkin malah tidak peduli dengan kaum alit. Tapi sekali lagi mas, saya hanya pegawai biasa." Rohman mencomot cireng kemudian memakannya sambil berdiri.
"Kemarin saya dikejar-kejar trantib Bang." Mata Mas Aswan masih tertuju penggorengan.
"Oh iya? Terus dagangan Mas Aswan bagaimana?"
"Ya diambil, ini saya buat gerobak baru harus ngutang di koperasi. Padahal gerobak yang kemarin juga belum lunas cicilannya." tetap menunduk.
Rohman terdiam, mencoba mencuri makna tersirat yang ingin disampaikan Mas Aswan. Dia merasa saat ini Mas Aswan coba mencurahkan isi hati kepadanya. Pekerjaan Rohman sebagai katakanlah Pemerintah, tidak kemudian memiliki tugas dan fungsi di bidang penertiban kota seperti yang dimaksudkan Mas Aswan. Tapi Rohman tau dia tidak akan sekedar menjawab maaf Mas, saya tidak bertugas di bagian penertiban atau sekedar menjawab Oh begitu ya Mas? Mungkin lain kali Mas Aswan bisa mencari tempat berdagang yang lain, nanti kalo berdagang di tempat yang sama bisa ditertibkan lagi? Ini benar-benar bukan tipikal Rohman sama sekali.
"Kira-kira, apa yang bisa saya bantu nih Mas Aswan?" sambil mengambil pisang goreng sebagai cemilan kedua.
"Yah gimana ya Bang? Sudahlah, ini namanya roda kehidupan yang harus dijalani. Termasuk...harus diambil sumber mata pencaharian satu-satunya oleh para robot itu." sedikit memberi tekanan pada kata "robot".
"Robot ya Mas?hehe..." Rohman tersenyum kecil.
"Mas Aswan harus jadi orang besar suatu saat!" kedua bola mata yang dari tadi tertunduk sekarang menghujam tajam ke kedua mata Rohman.
Rohman menghentikan aktifitas mengunyah gorengan sesaat.
"Iya, orang besar! Coba lihat lingkungan di sekeliling Bang Rohman? Pemuda pengangguran yang kecanduan narkoba, anak-anak kecil yang sudah jam tujuh malam seperti ini masih keluyuran dan orang tua di sini? Lihat itu di Pos RW, bapak-bapak malah asyik bermain gaplek dan ibu-ibunya tertawa terbahak-bahak bergosip dengan tema yang itu-itu saja." menghentikan aktifitas menggorengnya sementara.
"Iya memang ini kan kondisi lingkungan kita dari dulu Mas?" Rohman menggaruk-garuk yang tidak gatal.
"Tidak separah sekarang. Tiap hari terdengar suara sirine mobil polisi yang menangkap anak-anak muda seumuran Bang Rohman yang tertangkap sedang berpesta narkoba. Tapi saya lihat Bang Rohman, lahir dan besar di sini, tapi saya sudah bisa menebak dari Bang Rohman kecil."
"Menebak apa? Ada-ada aja nih Mas Aswan."
"Bang Rohman akan jadi orang yang sukses suatu saat. Sejak kecil Bang Rohman tidak pernah keluyuran selepas maghrib, bahkan hingga lulus SMA. Bang Rohman punya tujuan hidup tidak seperti yang lain."
"Tujuan hidup? Hah...yang bener nih Mas Aswan. Sekarang kalo saya tanya, tujuan hidup Mas Aswan apa ya?" mencoba menantang.
"Sederhana saja, saya SD tidak lulus. Tapi saya punya anak, si Putri akan saya sekolahkan setinggi langit. Sarjana mungkin target utama pendidikan si Putri buat saya." Mas Aswan melanjutkan menggoreng dengan sesekali mengangkat gorengan yang sudah matang dan memisahkan di gerobak.
"Setelah Putri jadi sarjana, mau gimana lagi?"
"Minimal saat saya mati dengan keluarga saya mengelilingi saya maka akan saya sampaikan kepada malaikat penyabut nyawa, bahwa saya telah melakukan hal yang lebih baik dari hari saya yang lalu. Ditambah satu bonus, seorang sarjana mendampingiku pergi ke alam baka." tanpa ekspresi, tetap menggoreng dengan irama yang sama.
Rohman tercegat. Seorang tukang gorengan bicara kemanusiaan lebih fasih daripada para pejabat yang selalu mengatasnamakan kemanusiaan kemudian tampil di depan publik bak pahlawan kesiangan.
"Menurut Bang Rohman, mengapa saya bercerita tentang pengalaman gerobak saya diambil oleh trantib?"
"Mas Aswan pikir saya bisa bantu Mas Aswan karena saya sudah bekerja di pemerintahan?" jawaban otomatis keluar dari mulut Rohman.
Mas Aswan tersenyum kecil.
"Trantib tadi, betul telah mencoba merenggut rezeki Allah SWT yang sedang saya usahakan di muka bumi. Tapi trantib tadi tidak bisa merenggut cita-cita dan tujuan hidupku di muka bumi ini pula. Terlau picik dan kolot aku menyalahkan trantib yang mengambil gerobak kemudian aku frustasi dan menyalahkan Tuhan kelak. Hancur cita-citaku, hancur tujuan hidupku, tinggal aku menggigit jari hingga tua menggerogoti jiwa dan ragaku."
"Hmmm..." speechless.
"Bang Rohman ingat ini, hidup adalah tentang kontrak Tuhan dengan hamba-Nya yang diberikan kesempatan untuk hidup. Sedangkan kehidupan, adalah kontrak manusia dengan dirinya sendiri yang harus dicapai di ujung waktu hidup yang telah diberikan oleh Tuhan. Kita lahir dengan jerit tangis menggema seisi ruang bumi, kita tidak bisa mati dengan keadaan yang serupa. Karena kematian adalah saat kita telah menunaikan apa yang kita cita-citakan terhadap diri kita sendiri."
Rohman masih speechless dan sedikit bergumam.
"Bagaimana Bang Rohman, siap menjadi orang besar?" tantang Mas Aswan.
"Mungkin saya kurang siap Mas Aswan."
"Loh kenapa?" sedikit kecewa. "Memang apa cita-cita Bang Rohman setelah Allah SWT memberikan Bang Rohman kesempatan berkarier di dunia kepemerintahan?"
"Cita-cita saya...Saya tidak ingin petugas trantib mengambil gerobak kehidupan Mas Aswan lagi dan gerobak-gerobak kehidupan manusia lainnya. Ini tiga ribu, saya tadi makan cireng, pisang goreng dan tempe goreng."
Saat Rohman hendak meninggalkan gerobak Mas Aswan, tangan Rohman ditarik dan telapak tangannya diselipkan uang yang tadi sudah ia berikan.
"Tidak ada bayaran buat calon orang besar." seloroh Mas Aswan.
Rohman meletakkan uangnya kembali di ujung gerobak gorengan mas Aswan.
"Maaf Mas, saya bukan petugas trantib." Rohman berlalu.
"HAH...!" Mas Aswan menggeleng-gelengkan kepala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar