Sabtu, 22 Januari 2011

Dibalik N.A.N.A.R *3




Semua menyalahkan zaman
Bencana alam
Puting beliung
Banjir dan tanah longsor
Gempa bumi
Gelombang tsunami
Semua menyalahkan Tuhan
Diorama 3 : Benang yang Kusut

Bangsa ini masih muda, namun kelakuan sudah seperti orang yang hidup ratusan tahun. Kemarin malam aku menangis sesenggukan menyaksikan sebuah film perjuangan di negeri tirai bambu sana. Sebuah negeri dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Tidak tanggung-tanggung, 2 Milliar lebih penduduk tercatat hidup di negeri Cina saat ini. Negeri penuh filosofi, negeri yang menjaga nila-nilai luhur nenek moyang, negeri yang menjadi sangat besar karena belajar dari kesalahan sejarah yang dilakukan. Paling utama adalah negeri yang saat ini dilanda krisis politik pemimpin yang katanya penuh kolusi tapi minimal...para pemimpin di sana masih mau mengurus negerinya dan bangkit melawan kekuatan dunia.

Saat itu tahun 1905, kekuatan tirani masih menguasai Cina dan Hongkong masih dikuasai oleh Inggris. Dr. Sun Yat Sen yang terkenal dalam sejarah Cina, akan berkunjung ke kota kecil yang berbatasan dengan Hongkong untuk menyebarkan pemahamannya tentang Nasionalisme.Ide ceritanya sederhana, Chen Shaobai seorang Pimpinan Redaksi sebuah surat kabar lokal adalah seorang nasionalis yang harus mempersiapkan kedatangan Dr.Sun ke kota tempat dia berada untuk menyebar strategi melaksanakan revolusi yang efektif bagi 13 Propinsi di Cina. Hal ini dilakukan karena kekuasaan tirani dari Kekaisaran Dinasti Qing sudah sangat menyengsarakan rakyat dan tidak dapat dibiarkan lagi. Permasalahannya adalah, para nasionalis harus siap mati oleh para pembunuh bayaran yang tidak diketahui jumlah dan bentuk serangannya karena membaur dengan masyarakat. Dr. Sun sendiri hanya butuh waktu 30 menit di kota tersebut untuk kemudian kembali pulang dengan menggunakan kapal yang dia tambatkan di pinggir dermaga.

Li Yutang adalah pengusaha surat kabar tempat Chen Shaobai bekerja dan juga penyokong dana utama kehadiran Dr. Sun ke kotanya. Li Yutang memiliki seorang anak yang cerdas bernama Li Chongguang yang juga seorang nasionalis dan aktif menyebarkan berita-berita penyengsaraan rakyat oleh Kaisar saat itu dan rakyat harus bersatu untuk melakukan revolusi demi perbaikan Cina ke depan. Li Yutang melarang putranya untuk berpartisipasi dalam acara menyambut Dr. Sun Yat Sen ke kotanya karena akan sangat berbahaya bahkan dapat mengakibatkan kematian namun Li Chongguang menolak dan memang di akhir cerita-Li Chongguang tewas ditikam dengan kayu penarik becak oleh seorang loyalis kaisar.

Semua cerita di atas sudah membuatku meneteskan air mata, namun ada satu adegan yang lebih membuatku merasa miris karena membandingkan dengan kondisi negaraku saat ini. A'si, seorang penarik becak yang sudah mengabdi kepada Li Yutang selama 10 tahun akhirnya ikut mati karena ingin menyelamatkan putra tunggal bosnya ketika akan dikejar oleh loyalis kaisar tadi. A'si Si Penarik Becak tercatat ke dalam salah satu tokoh sejarah pergerakan nasionalis di Cina. Aku bahkan tidak berpikir akan sejauh itu karena di negeriku ini, definisi pahlawan sering kali dipermainkan bahkan diperdebatkan. 

Negeri ini akan diruntuhkan oleh para pemimpinnya sendiri, oleh para tokoh yang katanya akan menyelamatkan bangsa ini dan membawanya kepada sebuah kesejahteraan. Aku hanya tertawa kecil ketika mengikuti sebuah rapat yang nampaknya membicarakan rencana bangsa ini ke depan namun ternyata berisi sebuah kisah klasik yang diulang secara terus-menerus tiap tahunnya. Mereka bilang perubahan dan perbaikan dilakukan setiap tahun untuk mencapai target-target pembangunan, aku bilang ini hanya permainan ular tangga yang dapat diulang-ulang kapan saja para pemain menginginkan.

Ingat kasus Tsunami di Aceh? Gempa di Jogja dan jawa Barat serta terakhir di Padang? Gunung Merapi meletus dan banjir di Wasior serta tanah longsor yang berulang-ulang terjadi? Apa kata mereka? 

Ini takdir Tuhan yang harus kita terima 
Seakan para pemimpin ini tidak sadar sedang ditegur pencipta-Nya kemudian masih ribut mengurus masalah kelanggengan jabatannya ke depan. 

Korupsi apalagi, seakan sebuah permainan monopoli yang di resize seluas satu negara karena semua bisa ikut bermain. Pion monopoli yang masuk ke dalam penjara, dapat saja keluar jika memenuhi salah atu syarat di antaranya:
1. Membayar denda sesuai kesepakatan
2. Keluar angka yang sama dalam satu kali kocokan sepasang dadu
3. Memiliki kartu "kesempatan" untuk keluar dari penjara dan bahkan mendapatkan uang jika kartu tersebut dijual ke bandar.

Apa bedanya dengan negara ini? Masyarakat semakin bosan karena permainannya hanya diiulang. Kebosanan masyarakat justru dimanfaatkan para pemimpin ini untuk beradu nominal korupsi. Korupsi yang lebih besar dengan melibatkan lebih banyak pejabat dari instansi pemerintah, serta paling lama disorot oleh media maka dialah pemenang "piala bergilir" korupsi di negeri ini.

Negeri ini kusut layaknya benang layangan. Aku terkadang harus bernapas panjang untuk sekedar melanjutkan hidup esok hari karena harus berkutat dengan kemacetan yang seakan tanpa solusi. Polusi udara yang keluar dari knalpot sepeda motor dan mobil bahkan bis-bis kota adalah santapanku tiap pagi walaupun aku sadari aku adalah salah satu penyumbang menu lezat itu. Pada dasarnya aku juga sering berdiskusi dengan beberapa sahabat tentang kondisi negeriku ini. Mencoba mencari solusi dan di share ke situs-situs pribadi atau pertemanan yang semakin menjamur dan pemanfaatannya kian hari kian melenceng.

Aku memang mengeluh saat ini tapi aku bersumpah akan memberikan solusi terhadap problem negara ini. Terutama untuk para koruptor yang memiskinkan bangsa, otak ini sudah panas untuk segera melaksanakan strategi "pemusnahan bahaya laten korupsi" di negara ini.

Sekali lagi teringat tentang perjuangan Cina merebut sebuah makna kemerdekaan, maka cita-cita ini biar ku pupuk sejak saat ini dan kurawat hingga tumbuh dan kusebar tiap benih yang sama kepada jiwa-jiwa muda yang gusar.

Gusar akan ketidakpastian.

Kamis, 13 Januari 2011

Dibalik N.A.N.A.R *2


Siapa kamu
Diam membisu
Ini hanya ubah sesaat
Sesaat langkah dan berlari
Sambutlah ini tangan tanpa berfikir
Ingat saat Kita kuat dan inilah roda berputar

Diorama 2 : Bertahan

Aku : "Kuat itu dua..."
Bawor : "Siap, Cak!" (panggilan untuk laki-laki yang lebih tua).
Aku : "Sudah berlaku apa kamu hari ini? Ada perlu aku di sini?"
Bawor : "Biasalah, wanita." (tertunduk)
Aku : "Cepat ku laju sepeda motor, kita bicara tentang wanita?" tanpa sadar dahi mengernyit.
Bawor : "Kemana aku harus cerita. Aku jemput dia ke ibu kota hancur aku lihat dia jalan dengan lelaki lain."
Aku : "Mati kamu besok!" Aku toyor kepala Bawor.
Bawor : "Ojo ngono lah, Cak Rohman ndhelok aku serius mengais rezeki terhambat sing sitok iki."
Aku : "HASSSHH....tolong itu sego' kucing dua bungkus, puyuh dua, gorengan dua, kasih kuah sayur tahu."
Bawor : "Piye nasib ku Cak, sesuk muleh aku lek dino iki sampeyan nggak kasih masukan."
Aku : "Mau sepatu ini mendarat di mukamu?" Aku angkat sepatu bagian kanan dengan satu tangan.
Bawor : "Iyo Cak ojo dikampleng aku tak jupuk pesenanmu, Sem..."
Aku : "Asem dhewe...!"
Bawor paling muda, paling semangat menjalani hidup sebagai manusia. Matanya sayu, rambutnya gondrong dengan perut tambun akibat berhenti fitness. Dulu di kampus dia paling disegani sama dosen dan dekanat. IP terancam Cum Laude bahkan dia yang meminta ke bagian kesekretariatan agar nilainya dikurangi 0,5 point agar tidak Cum Laude dengan alasan sederhana.

Aku males maju ke depan cium tangan sama cecunguk-cecunguk itu.

Saat itu Oktober 2005, aku sudah lama berkecimpung di sebuah pergerakan di kota kecil di ujung Jawa. Status ku mahasiswa lepas, aku bebas memilih kapan masuk kuliah karena tidak ada lagi peduli dalam tiap mata pembimbing hidup di hadapanku. Ingat saat itu Ibu sampai sakit menerima sepucuk surat berisi aku harus segera lulus sebelum akhir tahun atau akan ada Surat Peringatan langsung dari Dekan. Pulang ke rumah aku baca "surat ancaman" itu aku robek dan aku hempaskan ke udara tepat di hadapan Ibu ku.

Kenapa suratnya dirobek Man? Ini dari kampus, ini surat resmi Man? Ibu panik.

Aku bilang saat itu tidak perlu khawatir karena kita yang membuat mereka tetap hidup dari SPP yang kita bayar tiap semester. Mereka tidak pantas mengusir jiwa-jiwa haus ilmu sebagai bibit perbaikan negara yang hampir ambruk ini. Kewajiban mereka hanya membimbing dan mentransfer ilmu yang aku anggap seadanya untuk beberapa pengajar.

Kembali ke kampus, aku temui bagian Kepala Administrasi Kemahasiswaan. Aku bawa sisa robekan surat itu dan aku tebar di meja kerjanya yang lebih pantas disebut "meja siskamling" karena tidak ada berkas apapun di atas mejanya hanya sebuah cap yang mengkilap. 

Aku tanya siapa yang mengeluarkan surat itu karena setelah aku telusuri memang hanya beberapa mahasiswa saja yang menerima seperti Lukman, Azis, Limbuk, Izul dan ini semua adalah teman satu paham yang memang sering membuat Dekanat keringat dingin karena semua data keuangan kampus kami pegang. Pak Darto bilang Pembantu Dekan 1 yang mengamanatkan agar terjadi perputaran mahasiswa dengan baik dan dia bilang semakin cepat mahasiswa lulus maka semakin tinggi nilai anggapan masyarakat terhadap kredibilitas kampus tersebut. Aku pikir sederhana, ini hanya untuk mengusir para aktivis yang betah tinggal di kampus hingga tujuh bahkan sepuluh tahun dengan berbagai niatan. Hari itu juga aku temui Pembantu Dekan 1 dengan sedikit wejangan, sekali lagi surat terkirim ke alamat rumah yang membuat Ibu ku sakit seperti kemarin, maka mereka para cecunguk harus siap tidur di atas lantai dingin penjara karena sudah aku pastikan data-data pungutan gelap setiap mahasiswa baru yang masuk melewati "jalur khusus", akan berpindah ke tangan penegak hukum.


Kembali ke Bawor, hanya perlu dua bulan untuk mendengar nama Bawor bergema di seantero kampus, bahkan universitas. Bawor yang keluar ruang kelas saat kuliah karena dosen kurang mampu mengatasi tingkat kritis Bawor dalam mata kuliah Pancasila. Bawor yang membuat kantin hancur berantakan akibat tawuran antar mahasiswa baru yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak universitas ini berdiri. Bawor yang hadir sendiri dalam rapat penentuan besarnya jumlah SPP persemester dan hanya akan membayar empat ratus ribu tiap semester dan akhirnya didukung oleh seluruh orang tua mahasiswa yang hadir. Bawor yang ini, Bawor yang itu, Bawor yang dikagumi banyak wanita angkatan tua.

Bawor yang di akhir tahun aku kuliah menangis di hadapanku karena ketika dia merasa "berilmu" maka tidak selamanya teman-teman mau menerima dia menjadi pemimpin. Terbukti dia tidak terpilih sebagai jago dalam acara Pemilihan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa kampus bahkan dari teman-teman yang selama ini dia bantu akademisnya. 

Aku salah apa ya Cak sampai konco-konco nggak gelem milih aku dadi calon presiden?
Saat itu aku hanya berkata Presiden hanya logo yang menempel di dahi, pemimpin adalah kosa kata yang lebih tepat buat jiwa-jiwa tangguh seperti kamu. Bawor menunduk dan tersenyum.

Bawor : "Iki Cak pesenan sampeyan." Bawor duduk lesehan di hadapanku.
Aku : "Kamu diet? Nggak makan sekalian?"
Bawor : "Iki aku tas mangan nongko, aku ngroko'an ae Cak santai."
Aku : "Gimana si Yusuf punya kabar?" Aku mulai menyantap nasi kucing di hadapanku.
Bawor :"Lah, lapo ngurusi Yusuf? De'e wes muleh neng Ambon melu tes PNS."
Aku : "Udah lulus rupanya si Yusuf? Kenapa dia nggak kasih tau ke aku?" sambil terus makan.
Bawor : "Ealah Cak, opo perlu sertifikat lulus si Ambon iku? Lah Ebese iku wong penting neng Ambon, dadine wes mesti ketompo neng Pemkot Ambon."
Aku : "Perut sudah pindah ke kepala."jawabku ringan.
Bawor : "Cak terus masalahku piye?" garuk-garuk kepala.
Aku : "Kamu bener pindah ke kota ini hanya untuk menjemput pacarmu?" aku mencuci tangan dengan kobokan yang sudah dicampur dengan daun kemangi.
Bawor : "Yah... sekitar 60% iyo Cak. Lah Aku neng kampung wes iso dadi PNS lah kan Ebes ku yo pejabat pisan hehe..." nyengir kuda.
Aku : "Ya, kamu lebih parah"
Bawor : "Opo'o Cak?"
Aku :  "Otak sama kelaminmu sudah pindah ke kepala."  
Bawor : "Ya Allah Cak ket mau aku dipisui thok'e? Wes aku tak muleh saiki." Bawor mengambil tas berlagak ingin meninggalkanku.
Aku : "Pulang sana! Dasar cemen!" Aku masih duduk di atas tikar.
Bawor : "Cak!" Bawor memelas dan raut wajahnya seperti anak kecil minta naik odong-odong.
Aku : "Kamu sudah berani menginjakkan kaki di kota besar ini. Aku butuh kamu untuk beberapa tahun ke depan tapi ingat...Aku bukan orang yang bisa membayar kamu mahal."
Bawor : "Urusan penting? tapi masalahku gimana?" Bawor masih berdiri.

Aku menyerahkan handphone ku dan membiarkan Bawor memilih satu dari beberapa foto wanita yang aku tunjukkan.

Bawor : "Cak sampeyan aseum temenan'e, aku masih sayang sama Mila lah kok disuruh milih cewek liane?"
Aku : "Mau...aku kasih nomornya, nggak mau...ya bukan rezekimu." kunyalakan rokok, berdiri dari tikar dan bersiap meninggalkan Bawor untuk pulang ke rumah.
Bawor : "Iyo Cak aku milih Cynthia piro nomor hape-ne?"
Aku : "Asu..."
Kita berpisah.


Bawor adalah pendiri "Sekolah Rakjat" di kota tempatku menimba ilmu dulu. Bawor menciptakan lebih dari lima puluh pengajar sukarela dari kalangan mahasiswa berprestasi di seluruh fakultas untuk kemudian disebar ke beberapa daerah terpencil dan mengajar anak-anak kecil yang orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah. Maksimal bapak-bapak di sana adalah pengumpul rumput untuk ternak majikan yang dititipkan kepada mereka.

Bawor ibarat sniper dalam setiap pertempuran.







Jumat, 07 Januari 2011

Dibalik N.A.N.A.R *1





Bulir-bulir
Dalam temaram
Terus Berdetak
Hingga Fajar Menjelang
Anak Kecil
Bermain Angka
Berharap Nanti
Mati Tak Sia


Diorama 1 : Dalam Dimensi

Mimpi ini sudah ditanam sejak kau perkenalkan aku akan semua takdir. Takdir yang kau bilang mengapa akhirnya kita bertemu dalam sebuah ruang aktifasi yang tak semua pihak memilih. Jodoh yang kau bilang saat aku kembali walau saat itu aku buta arah dan langkah yang aku tempuh sebatas rasa penasaran akan sebuah pola yang kita sepakati ini sebagai sebuah gerakan.

Terus terang aku tidak pernah tersesat sejak saat itu. Pun ketika wacana timbul di sekeliling, aku hanya akan menjadi penganut pragmatis semata tapi aku anggap mereka tidak mengenalku. Tidak semua paham akan langkah yang aku tempuh, tapi kamu sudah mengenalku sejak awal. Rasanya seperti cinta mati dan tak ingin berpisah karena sudah kurasakan dalam setiap aliran darah namun bukan dalam bentuk roman picisan.

Kamu pasti tertawa terbahak karena pasca jalur hidup yang akhirnya dianggap semacam pengkhultusan itu, akhirnya aku memilih jalan yang ini. Jalan yang dulu sama-sama kita caci dan maki dalam keseharian. Identitas kita dulu di kalangan robot-robot pribumi adalah sebagai pemberangus sebuah ke-ajegan yang komunal akhirnya sepakat diberi stempel dengan judul "birokrasi".

Hari itu belum saatnya aku mendapat gelar sarjana. Yang menurut doktrin dunia akan lebih mudah mencari hidup- atau minimal mempertahankan hidup. Roda-roda kereta terus berputar, melaju di atas rel yang akhirnya mendekati sebuah ruang penantian. Aku katakan "penantian" karena memang di sini ku titipkan sebuah mimpi yang berawal dari sebuah dendam karena harus kutinggalkan hati yang bersemi dan menyerah dengan apa yang mereka sebut...takdir.

"Aku...akan...taklukan kamu!"

Selamat Datang Kenyataan

Pertengahan 2008

Bapak Tua : "Gimana, masih kurang apa lagi sampe beres semua?" (mengendarai sepeda motor)
Aku : "Ini semua sudah beres, administrasi sudah selesai tinggal wisuda saja."
Bapak Tua : "Ya sudah, kamu jangan main-main dulu kalo sudah beres nanti Ibu juga sudah tenang"
Aku : "Kenapa nggak boleh main? Justru ini pulang mau senang-senang dulu."
Bapak Tua : "Heh gimana sih, cepet cari kerja nanti kelamaan main jadi males."
Aku : "Ada perubahan apa di sini?" mengalihkan perhatian.
Bapak Tua : "Lihat aja sendiri!"

Hening.


Ruangannya sepi, jam dinding menunjukkan Pukul sembilan lebih sepuluh menit. Di sini hal seperti itu sudah biasa, masuk kerja semampunya dan pulang sekehendaknya. Semua melawan garis-garis peraturan. Kita "special" dengan hanya kurang dari 10% dari keseluruhan mahluk yang ada di instansi ini. Kita kokoh karena kita oknum yang berjalan lurus dan kita memegang marka-marka. Tapi sebagian dari kita lupa akan takdir, bingung akan jati diri karena sudah lama tidak berkutat dengan kemahiran diri.

Aku hanya pion di sini, pion yang sadar ketika terus melaju dan menerjang hingga kotak terakhir pertahanan lawan maka aku akan berubah menjadi apa yang seharusnya terjadi.

Di sini...di tempat ini, adalah satu kompi dari berpuluh-puluh kompi pasukan yang menjadi sasaran amarah bagi setiap mereka yang berpandangan bahwa negara ini diam tak bergerak. Manusia-manusia di sini bingung akan apa yang mereka kerjakan sendiri, pusing akan ke depan yang tidak seharusnya dipikirkan. Khayalan adalah bumbu penyedap dalam setiap program yang dibuat dan memang sengaja diwujudkan dalam sebuah objek yang menarik agar mereka mau berbelas kasihan untuk memberi nafkah.

Kenapa aku di sini?Sederhana saja, ini memang sedikit berbeda dengan langkah yang ditempuh Fidel Castro saat dia sudah nyaman di kelas ekspatriat dan status yang tinggi diiringi daya intelegensi yang sangat mapan dan akhirnya kembali turun ke jalan. Bertemu dengan karib lama yang bernama Ernesto kemudian sekarang kita mengenalnya dengan sebutan singkat-"Che" dan mulai bergerilya mencari titik-titik makna kehidupan. Jikalau komunis mereka kibarkan, maka sang jagal bagi "Che" adalah satu-satunya saksi bahwa dalam komunis sekalipun jangan khawatir tentang agama yang kau pilih, karena ini adalah tentang hidup. Komunis mengatur, di lain sisi memberi udara kebebasan dalam memilih kekasih di lain dunia.

Beda dengan aku. Aku memulainya dari sini, di dalam dimensi yang mereka sebut kemunafikan. Aku memulainya di sini, jangan kau ragukan niatan ku yang lalu-lalu kawan.


To be Continued...