Sabtu, 26 Februari 2011

Dibalik N.A.N.A.R *5




Dear My Client...
Dalam segenap keraguan yang tersibak di hati
Ingin kudengar segala yang kau risaukan
Segala yang kau suka dan kau benci tentang diriku
Segala yang kau harapakan tentang sebuah idealisme
Karena di sini aku mengabdi untukmu

Diorama 5 : My Client

Apa yang baik tak selamanya dianggap baik, begitupun dengan apa yang dianggap buruk. Roda dunia tak pernah henti berputar dan selama itu pula laju pemikiran ummat manusia yang katanya paling mulia di antara mahluk lain yang mulia. Tak perlu ada pergeseran paradigma tentang segala hal yang buruk karena keyakinan hanya satu, bukan kewajiban kita menggeser-geser makna tapi minimal, pencarian terhadap sebuah makna adalah kewajiban tiap pribadi.

Telpon di seberang berdering dan tak ada satupun yang mengangkat termasuk Rohman yang tampak sibuk mengerjakan tugas di depan layar monitor komputer. Dari kejauhan seorang lelaki tua berjalan menghampiri kemudian mengangkat gagang telepon. Di ruangan ini bukan masalah penting siapa yang menelpon akan tetapi dapat dipastikan yang mengangkat gagang telepon tiap telepon berdering adalah "strata" terendah di ruangan. Separah itu pola pemaknaan sebuah jabatan semu di muka bumi. Hingga mengangkat gagang telepon menjadi dianggap sangat prinsipil untuk menunjukkan satu hal lebih memiliki derajat dibandingkan hal lain. Pak Ali kebetulan memiliki strata yang sebagian orang menganggap sebagai strata terendah di ruangan ini, dia seorang pramubakti.

"Assalamualaikum selamat siang dengan bagian hukum ada yang bisa dibantu?" Pak Ali memulai percakapan.
Terdengar suara bising menjawab pertanyaan Pak Ali.

"Baik, dari mana ini Pak?" masih tetap Pak Ali berdiri di depan telepon sambil mendengarkan dengan seksama.

"Baik, mohon tunggu sebentar." sebelah tangan Pak Ali menutup sebagian gagang telepon. 

"Maaf, Pak Rohman ini ada telepon dari Pak Sofyan katanya teman Bapak."

"Oh iya maaf Pak Ali tadi saya sedang mengerjakan tugas jadi nggak sempat mengangkat telepon, terima kasih ya Pak Ali." Rohman mengambil alih gagang telepon.

"Assalamualaikum Bro apa kabar?" Rohman memulai percakapan.

"Bang Rohman sehat?" suara Sofyan di seberang. 

"Alhamdulillah sehat, ada yang bisa aku bantu Bro?"

"Wah formil banget Bang Rohman ini, sudah sangat cocok jadi seorang birokrat hahaha..."

"Yah kita memang sebagai seorang pelayan harus seperti ini, Bro Sofyan juga  aku anggap sebagai client yang harus dilayani."

"Jangan begitu lah Bang, aku juga sudah sering merepotkan Bang Rohman. Oiya, sebenarnya aku menelpon Abang ada perlu sedikit jika tidak berkeberatan?" tampak serius.

"Oh begitu, kiranya sangat penting sampai menelpon aku di kantor?"

"Bagi aku ini bukan masalah pribadi tapi memang nampaknya saya butuh konsultasi dengan Bang Rohman. Apa malam ini Bang Rohman ada waktu? Arabian Cafe malam ini jam 8 mungkin ,kita bisa bertemu di sana Bang?" suara Sofyan terdengar ragu.

 "Tidak ada masalah, jam 8 malam di Arabian Cafe." Rohman mantab menjawab.

"Oke kalo begitu jam 8 malam kita bertemu di cafe, sebelumnya aku mohon maaf sekali lagi sudah merepotkan Bang Rohman, assalamualaikum." suara yang kembali bersemangat.

"Waalaikumsalam." gagang telepon ditaruh kembali ke tempat semula.
Arabian Cafe

Suasana cafe sangat hingar, cafe ini terdiri dari 7 lantai dan tidak hanya sebatas untuk tempat pertemuan tapi cafe ini juga menyediakan fasilitas spa, sauna, whirlpool hangat dan dingin, terapi kesehatan dan juga fitness centre. Pun malam ini sedang ada pertunjukkan sexy dancer dimana para penari modern wanita dengan lihainya melenggak-lenggokkan badan di depan para tamu yang datang. Bapak tua yang duduk di pojok ruangan asyik memainkan jemarinya pada tubuh sexy dancer yang sedang dipangkunya. Tak terlihat canggung, malu menjadi barang langka, bahkan terlihat di sisi lain sexy dancer sudah menanggalkan pakaian bagian atas tubuhnya dan asyik bermanja dengan dua orang tamu laki-laki yang menghimpitnya.

Rohman memesan secangkir hot chocochino sambil menanti kehadiran Sofyan. Selang beberapa waktu pelayan sexy mengantarkan pesanan, ada yang menepuk bahu Rohman dari belakang.

"Bang Rohman!" 

"Oh, Brother Sofyan apa kabar?" keduanya berpelukan layaknya sahabat tak berjumpa dalam waktu lama.

"Bang, aku sudah pesankan room di atas untuk sekedar melepas lelah sambil nanti teman aku menemani Abang. Sekarang kita berendam air hangat dulu ya Bang, sambil kita ngobrol." Sofyan menarik tangan Rohman.

"Ini aku baru pesan minum?" Rohman bingung.

"Sudah gampang itu Bang." Sofyan berbisik dengan waitress kemudian dengan sigap mengangkat pesanan Rohman.

"Mari Bang Rohman aku antarkan sekalian ke bawah." senyum waitress mengembang.

Rohman menuruni anak tangga mengikuti langkah Sofyan kemudian menuju ruang loker tempat penyimpanan barang dan tak seberapa lama mereka berdua-pun berendam di whirlpool hangat. Ini memang salah satu hiburan favourite bagi warga ibu kota setelah seharian lelah bekerja. Sedikit melupakan gerak waktu yang tidak bisa terhenti, sejenak enggan mengingat penatnya pikiran akibat menumpuknya tanggung jawab. 

"Bang, terima kasih ya sudah mau menemui aku di sini." Sofyan membuka pembicaraan.

"Yah, biasa saja lah Bro, lagipula sudah hampir sekitar setengah tahun pertemuan terakhir kita di Salemba dengan kawan yang lain." sambil menikmati hot chocochino.

"Kita sambil santai saja ya Bang? Aku juga sudah menyediakan room di atas." 

"Room untuk apa ya?" Rohman mengernyitkan dahi.

"Iyalah Bang untuk sekedar relax. Tadi sudah aku pesankan terapist terbaik di sini, aku tahu tugas Abang sangat berat dan pastinya Abang sangat lelah setelah seharian bekerja.” Sofyan menyulut sebatang rokok.

“Iya, tapi sebenarnya ini ada apa Bro? Aku sih terima kasih, tapi maksud semuanya apa?Aku diundang ke sini lalu tiba-tiba seperti ini?” Rohman masih tetap bingung.

“Begini Bang...” Sofyan mendekat ingin memberikan sebuah rahasia.

“Alamak...minggu lalu Bawor menemui aku sambil merengek curhat tentang wanitanya yang memutuskan hubungan dengannya karena Bawor tidak mampu menepati janji. Hari ini aku dijamu layaknya raja ternyata inti ceritanya sama saja. Wanita mana di dunia ini yang bisa membuat sahabat-sahabat ku tidak lagi merengek seperti anak kecil? Hashhh...” Rohman berdiri dan keluar dari kolam.

“Bang jangan pergi dulu lah, pokoknya aku sudah pesan terapist buat Abang jadi Abang harus mau menerima jamuanku terlebih dahulu!” Sofyan sedikit memaksa.

Rohman tidak bisa menolak karena posisinya sekarang yang sudah terlanjur menerima undangan Sofyan. Selesai membersihkan badan, Rohman langsung diantar menuju lantai 5 gedung. Cahaya lampu redup berwarna biru tua menyelimuti seisi ruangan, tata letak ruang yang dibuat seindah mungkin untuk membuat nyaman tamu yang hadir serta udara dingin karena AC menjadi satu paket komplit yang disajikan. 

Keluar dari elevator, tiba-tiba seorang wanita remaja berusia sekitar 18-20 tahun menyambut Rohman dengan senyum manis. Wanita dengan wajah oriental, rambut di hi-lite sebahu dan pakaian yang serba minim mulai dari tanktop hingga celana jeans ketat jauh di atas paha membuat Rohman berfikir, pesan apa yang hendak disampaikan oleh Sofyan. Sesaat kemudian, wanita remaja tadi mempersilakan Rohman masuk ke dalam sebuah ruangan kemudian dia pun masuk dan menutup pintu.

Siapa Sofyan?
Hampir 5 tahun Rohman mengenal Sofyan, bahkan dulu Rohman sempat ditampung di kosan Sofyan saat tidak ada lagi selembar uang di saku Rohman untuk membayar uang kosan. Sofyan anak muda yang tegas, bentuk tubuh layaknya atlet gulat pada umumnya, agak pendek namun kekar dan berotot. Saat kuliah dulu, Sofyan sama seperti Bawor, berada pada baris terdepan setiap aksi menolak kebijakan pemerintah yang tidak pro kepada rakyat kecil, rakyat tertindas.

Keluarga Sofyan pernah mengalami masa pahit karena ayahnya dicurangi oleh kawan bisnisnya. Sekitar tahun 1998 kita pasti pernah mendengar merk dagang sebuah produk mi instant pertama dengan ciri khas Islami dan berani mengatakan produknya halal untuk dikonsumsi. Ayahanda Sofyan berada di balik nama produk tersebut beserta salah seorang kawan lama yang akhirnya bergabung untuk menjalankan bisnis tersebut. Dua tahun produk tersebut dikeluarkan, namanya sudah dikenal di hampir seluruh tanah air dan tidak ragu orang mengkonsumsinya. Rohman sendiri mengakui, Ibunya yang seorang guru ngaji selalu menggunakan produk tersebut untuk keluarganya karena jaminan halal yang diberikan. 

Bisnis sedang sangat baik, kawan bisnis ayahanda Sofyan membelot dan ingin menguasai merk dagang produk tersebut dengan membuat skenario yang menjatuhkan. Ayahanda Sofyan dinyatakan tidak berhak atas royalti merk dagang tersebut dan akhirnya dilempar dari kegiatan bisnis sehingga kondisi perekonomian keluarga menjadi ambruk seketika. Sofyan sempat tidak melanjutkan sekolah akibat musibah tersebut. Namun tiada kata menyerah bagi Sofyan beserta keluarganya. Empat tahun berselang, kondisi perekonomian keluarganya jauh membaik karena produk baru yang diciptakan oleh ayahanda Sofyan. 

Suatu hari Rohman pernah bertanya...
Ayah kamu membuat produk apa lagi sehingga perekonomian keluargamu membaik?

Apa ya? Yang pasti, ini hampir selalu digunakan oleh setiap keluarga di negeri ini. Bisnis ayahku bisa saja membuatku tidak perlu lagi bekerja seumur hidup. Tapi itu bukan sifat asliku yang hanya berpangku tangan mengharap kasihan orang tua.

Sofyan memiliki karakteristik yang kuat, tidak pernah sekalipun sebuah perusahaan menolak ketika dia melamar menjadi karyawan di perusahaan tersebut. Gaya bicara yang lugas dan mampu menarik pihak lain, luasnya pergaulan yang berdampak pada luasnya koneksi kerja, kemampuannya menghibur client adalah yang membuat ia bertahan hidup sendiri di ibu kota tanpa seorangpun sanak saudara.

Sofyan bukan tipikal penjilat, ibarat aliran listrik maka Sofyan adalah air yang siap menghantarkan ke segala arah dimanapun air tersebut mengalir.

X X X

Satu setengah jam berlalu, Rohman keluar dengan wajah memerah akibat menyimpan amarah. Ditariknya kerah baju Rohman yang sedang duduk di depan bartender seraya akan menghantam keras wajah Sofyan.

“Apa maksudmu dengan semua ini?” Rohman siap menghajar namun dipisahkan oleh bartender walaupun Sofyan sendiri tidak merasa gentar sedikitpun.

“Kamu pikir aku pria hidung belang seperti yang lain?”

“Bang, sini duduk dulu kita bicara.” 

“Tidak perlu!” Rohman masih berdiri, namun Sofyan tetap asyik menikmati batang terakhir rokok yang dia punya.

“Mengapa Abang marah? Mei Lin adalah korban trafficking yang nyata.

“Lalu apa urusanmu? Kamu naksir dengan dia?Ingin memiliki dia” Rohman bertanya pelan.

“Tak penting apa yang aku mau Bang, Mei Lin dijual pamannya ke sini akibat utang yang harus dibayar orang tuanya di daerah sana. Abang lihat siapa yang duduk di belakang Disc Jokey di sana?” sambil menunjuk seorang pria tegak dengan rambut cepak yang asyik mengobrol dengan pemilik cafe.

“Aku mengundang Abang untuk menyaksikan, betapa generasi penerus bangsa ini akan dihancurkan oleh para pemimpinnya sendiri. TERMASUK BANG ROHMAN! Abang selalu memanggil aku “Si Air mengalir”, maka air ini menyampaikan pesan singkat Mei Lin yang hatinya menjerit karena harus bekerja sebagai wanita penghibur. Lalu pria yang aku tunjuk di sana, pria itu yang melindungi bisnis bejat penjualan generasi muda yang kita miliki untuk dijual kepada para pria hidung belang.”

Rohman lemas dan duduk di samping Sofyan kemudian memesan air soda dingin. Mukanya tertunduk lesu dan bingun akan berkata apa.

“Sofyan Si Air mengalir, aku terima pesan singkatmu dari Mei Lin di dalam tadi. Dia menangis mencoba menceritakan penderitaannya yang dia sendiri tidak tahu mengapa harus menanggung semuanya.”

“Aku meminta Mei Lin menceritakan semuanya ke Abang. Dia ingin kabur dari tempat ini tapi adiknya masih tinggal bersama pamannya. Dia sangat takut adiknya juga akan dijual sama seperti dirinya makannya dia selalu mengurungkan niatnya.”

“Apa yang bisa aku perbuat Sofyan? Aku hanya pegawai rendahan yang tidak memiliki kekuatan untuk menumpas kejahatan nyata seperti ini?”

“Bang, kenapa jadi lembek seperti kotoran manusia? Mana Abangku yang dulu tampil sangat jantan di hadapan ratusan mahasiswa yang ingin berunjuk rasa? Mana Abangku yang menggebrak meja rektor akibat kebijakannya yang menyulitkan mahasiswa miskin dengan cita-cita tinggi ingin kuliah?” Sofyan menatap tajam.

“Aku sudah pernah bilang ke Bawor bahwa kita harus berkumpul lagi. Bukan sekedar kumpul tapi kita akan membicarakan hal-hal seperti ini. Kita yang menjalankan roda kehidupan negara ini kelak. Jangan sampai negara ini hancur sebelum kita mencoba untuk memperbaiki kondisinya. Tunggu aku Sofyan, tak akan aku diam dengan hal semacam ini.” Rohman menepuk bahu Sofyan.

“Aku tunggu kapanpun Abang mau bergerak. Aku selalu siap atas segala yang harus kita hadapi bersama. Abang tau kemana harus menghubungi aku.”

“Oke kalo begitu, larut sudah hari ini Sofyan. Besok aku harus beraktifitas lagi. Tunggu kabar baik dariku ya?”

“Siap Bang! Selalu siap! Orang-orang seperti Mei Lin adalah Client Abang sebenarnya.” Sofyan meyakinkan.

“Baik kalo begitu aku pulang dulu, tapi ingat...” jari telunjuk Rohman menunjuk ke hidung Sofyan.

“Ada apa Bang?” Sofyan bingung.

“Lain kali panggil aku Mas!”

Sofyan tertawa lebar “Siap Mas Rohman Sang Komandan!” memberi hormat.

 

Rabu, 09 Februari 2011

Dibalik N.A.N.A.R *4



Pliss jangan berhenti
Langkah masih beribu
Hutan masih berliku
Aral melintang masih menghadang
Pliss...pliss...jangan berhenti di sini



Diorama 4 : Mata yang Memandang


Apakah kita hanya memandang, setiap indah langit pagi yang menyambut? Apakah kita hanya memandang, setiap langkah semangat adik-adik kecil menuntut ilmu dengan seragam yang cerah? Apakah kita hanya memandang, setiap rekam jejak peristiwa yang disajikan media dalam setiap waktu jam berdenting? Mengapa kita tidak memberi makna terhadap itu semua? Bukan kah indera kita yang adalah anugerah dari Raja segala Raja tidaksebatas kedua bola mata yang membelalak saat menatap fatamorgana dunia?Di mana telinga, di mana hidung, lidah, kulit yang melekat pada jiwa-jiwa yang menjalankan kehidupan?


Di mana hati, yang membebaskan kita dari segala ancaman siksa neraka saat tetap menjaga dengan penuh pertimbangan? Di mana akal pikiran yang terus berkembang dengan hanya kau tatap tiap lembar jendela dunia yang tercecer sebagai tambang emas yang tak ternilai harganya? Mengapa kini kita hanya berlagak seperti hidup di dalam hutan belantara, merasa mampu berjalan sendiri, merasa cukup hidup untuk esok hari, merasa diri bukan bagian dari semesta?


Rohman duduk di atas sajadah panjang yang tersusun rapi di sebuah mesjid luas dan terkenal di ibu kota. Hari itu hari Kamis, langit mulai memerah dan suara manusia bertadarus terdengar merdu menggema tidak hanya di seputar mesjid bahkan sangat jauh hingga tadi Rohman berjalan kaki sekitar satu kilo menuju mesjid.


Rohman tidak tahu ada kebiasaan di mesjid tempatnya menanti sholat maghrib berjamaah saat itu memberikan makanan berbuka puasa sunnah Senen-Kamis gratis bagi setiap jamaah yang hadir. Ia hanya bingung menyaksikan beberapa marbot masjid sibuk membagikan nasi kotak dan segelas es buah segar kepada jamaah yang hadir namun sesekali hanya meletakkan setumpuk nasi kotak dan membiarkan jamaah mengambilnya sendiri sehingga berebut dan menimbulkan kegaduhan. Seorang Bapak berpakaian kurang rapi dengan dua kancing baju dibuka, rambut sebahu dan ikal tak terurus nampak sangat antusias mengambil nasi kotak tersebut. Satu kotak diambil kemudian dimasukkan ke dalam tas kosong, begitupun dengan kotak yang kedua. Kotak nasi ketiga baru dia perlihatkan untuk memberi tanda dia sudah mendapatkan nasi kotak untuk berbuka.


Sesaat kemudian datang tiga anak kecil berpakaian kurang layak duduk dan memasang muka melas berharap agar diberi nasi kotak. Marbot mesjid mendekat dan memberikan sekotak nasi, segelas es buah dan pisang satu buah.


"Kenapa hanya sekotak yang dikasih Bang?" Rohman bertanya kepada marbot.

"Anak-anak ini yang biasa di jalan setiap kita ada bagi-bagi makanan mereka juga pasti datang." Marbot menjawab sambil berlalu.


"Iya Bang jangan dimanjain ntar kebiasaan, di luar udah minta-minta di dalam mesjid minta-minta juga." Sahut Si Bapak yang tadi telah memasukkan dua kotak nasi ke dalam tas dan satu kotak untuk dimakan bersama.

"Tadi Bapak sudah mengambil dua kotak, sedangkan ketika ketiga anak kecil tadi datang mengapa tidak Bapak berikan saja dua kotak nasi yang ada di tas Bapak untuk kedua anak yang belum dapat?" Rohman sedikit terpancing emosi.

"Enak aja lo kata, ini kan buat anak sama bini gue di rumah. Udah lo ngga usah ngurusin orang lain! Masih bocah udah berani sama orang tua! Lagian juga tuh bocah-bocah kan juga belom tentu puasa?" Bapak tadi mencari alibi.


Jamaah yang lain merasa terganggu dan mulai salin berbisik satu sama lain.
"Bang udah ngga usah dipaksain, kalo si Bapak itu ngga bakal pernah ngalah." Bocah dengan baju bergambar film kartun anak menahan Rohman untuk tidak berdebat masalah nasi kotak.

"Tapi kita juga laper Bil, dari tadi pagi kita jualan koran bekas kan cuma kekumpul lima rebu." Bocah berkulit legam dan ingusan menentang kawannya.

"Iya Bil kan lo tau sendiri tuh Bapak juga tiap ada bagi-bagi makanan pasti dateng. Udah gitu dia kan kerjanya cuma minta-minta di depan gerbang masjid pura-pura udah sakit-sakitan. Mending kita ngga puasa tapi usaha jualan koran bekas." Bocah ketiga menimpali.


Rohman bingung, dia menyerahkan kotak nasi yang dia sudah pegang kemudian dia berbisik kepada ketiga bocah tadi. 
"Emang yang tadi lo bilang beneran? Itu Bapak cuma minta-minta aja kerjaannya tiap hari?"

"Ya iyalah Bang, lo ke sini aja tiap hari pasti juga ketemu dia di depan gerbang mesjid sambil duduk pura-pura sakit." Bocah berkulit legam semakin semangat menceritakan kejelekan si Bapak tamak.


Rohman mendatangi ruang tempat marbot mesjid berkumpul kemudian keluar salah satu marbot dan mendatangi Bapak yang tadi mengambil tiga kotak nasi. Terlihat si Bapak gusar dan mengeluarkan dua kotak nasi yang tadi sudah di simpan di dalam tas. Si Bapak keluar mesjid dengan wajah kesal dan menunjukkan kepalan tangan kepada ketiga bocah tadi dan Rohman tentunya.


Rohman mendekati ketiga bocah tadi dan disambut dengan tiga raut wajah yang berbeda.
Si Bocah legam langsung menyambut dengan senyuman, "Bang makasih ya, baru kali ini kita makan dapet nasi kotak masing-masing :)" Rohman ikut tersenyum kemudian bingung melihat raut wajah bingung bocah kedua.
"Lo kenapa jadi sedih sama bingung gitu?" tanya Rohman kepada bocah yang dari tadi dipanggil Bil.

"Bang lo sekarang emang bener nolongin kita, tapi lo ngga tau Bapak yang tadi ancem kita mau dipukulin kalo ketemu di luar mesjid." 

Sebelum Rohman menjawab, bocah ketiga menimpali pernyataan bocah kedua.
"Udah lo ngga usah pusing yang penting kita makan dulu. Lagian kita bertiga nah si Bapak yang tadi sendiri masa kita ngga berani?" Bocah yang satu ini selalu terlihat lebih tegas sejak awal.
"Jadi harusnya gimana dong?" Rohman bingung.

"Sebenernya Abang ga salah malah kita makasih banget udah dapet jatah nasi satu-satu, tapi lain kali komunikasi ke kita dulu Bang. Kita anak jalanan yang tau bahaya jalanan termasuk ancaman kaya tadi kita udah sering."

"Iya Bang udah ngga usah bingung, ini nasi kotak Abang tadi kan kita udah dapet dua kotak dari Bapak yang maruk itu." bocah legam menyerahkan kotak.


Tiga orang bocah yang tidak pernah tahu akan nasib dari persahabatan yang mereka jalani saat ini. Mereka tidak hanya memandang setiap sketsa hidup, tapi mereka tahu akan setiap kemungkinan bahaya yang dihadapi. Kelima indera bekerja dengan sempurna di alam liar sana. Alam yang bahkan tidak lebih jauh dari sebuah mesjid dengan gerbangnya, lebih menyeramkan dari hutan dengan segala binatang buasnya. Satu di antara mereka memiliki keyakinan atas sebuah pertahanan yang kokoh dari setiap bahaya yang akan menghampiri. Dari setiap keculasan orang dewasa serta ketamakan yang selalu ditunjukkan dengan mengatasnamakan sesuatu yang absurd. Rohman hanya bersikap sebagaimana semestinya tetapi dalam kasus ini dia berperan besar. 


Rohman menyadari dia tidak akan mengawal ketiga bocah tadi dalam melanjutkan kehidupan selanjutnya, bahkan ketika sholat maghrob berjamaah selesai diselenggarakan dan dia harus berpisah dengan ketiga bocah yang sudah diancam oleh Bapak yang tamak tadi. Tapi tindakan Rohman melaporkan Bapak yang telah berbuat culas kepada marbot, sudah cukup menjadikan ketiga bocah tadi bersatu menentang ketidak adilan yang selama ini mereka rasakan. Pun bocah ketiga bahkan meyakini Rohman agar tidak perlu khawatir terhadap keadaan mereka karena mereka merasa yakin, apabila mereka bersatu maka mereka akan mampu mengatasi segala macam bahaya yang akan menghadang.


Jangan menyerah, jangan menyesal, kita hanya perlu mencari orang dewasa yang bijak, yang mengantarkan kita kepada sebuah keyakinan.  Keyakinan akan kemampuan kita generasi muda melawan setiap keculasan dan ketamakan manusia yang telah memiskinkan dan menyengsarakan nasib jutaan rakyat di negeri ini. Jadikan pencarian itu sebagai tugas kita bersama.