Rabu, 01 Agustus 2012

Dibalik N.A.N.A.R *9



Aku kecil beriring berpadu
Tak mampu melangkah belajar bertitah
Layaknya laut...luas, dalam dan membiru
Tak ada hasrat bergerak dan berkata latah
Aku kecil beriring berpadu
Melawan takdir besar dan kokoh
Angkuh dan acuh
Aku kecil, esok ku tetap kecil

Diorama 9 : ENERGI

Menjadi pecundang saat ini tak berarti tetap pecundang untuk masa yang akan datang. Atau lebih sederhana lagi, menjadi pecundang di sini, bisa jadi menjadi panutan di tempat lain. Begitulah hidup seharusnya terpikir, tidak sempit namun luas dan beraneka warna. Begitu seharusnya orang tua mengajak putra-putri kecilnya menjalani kehidupan kemudian tumbuh menjadi dewasa.

Rohman terlahir di sebuah kampung kecil yang merupakan bagian dari besarnya ibu kota di waktu itu. Jalanan kampung masih becek karena belum teraspal dan di sana-sini masih terlihat tumpukan tanah lempung yang biasa dijadikan anak-anak pada saat itu untuk bermain karena masih banyak tanah yang lapang di pertengahan tahun 90an.

Bermain kelereng, gobak sodor, batu tujuh dan juga...perang lempung adalah mainan favorit anak-anak kecil di kala itu. Ramai, riuh, friksi-friksi kecil antar bocah yang terjadi akibat kecurangan saat bermain dan celotehan-celotehan konyol berupa jurus-jurus maut yang diucapkan oleh seorang bocah dan membuat bocah-bocah lainnya tersugesti dan meyakini bahwa "jurus-jurus maut" tersebut mampu membuat seseorang menjadi lebih mahir bermain ketimbang bocah lainnya, adalah slide sejarah yang tak lekang di makan zaman.

Mungkin di kampung lainnya bocah-bocah kecil juga memiliki lukisan sejarah masa lalu yang tetap tersimpan di dalam memori kecil dan tidak sedikit dari mereka mampu mencicipi megahnya kehidupan di ibu kota karena kegigihan mereka meraih cita-cita tersebut.

"Hei Rohman, apa yang kau cari di dunia ini?" Seorang bapak-bapak berkulit keriput dan rambut yang sudah memutih dengan hanya mengenakan kaos kutang dan celana pendek yang notabenenya adalah tetangga samping rumah Rohman tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang gampang-gampang susah saat Rohman mampir ke warung di depan rumah membeli cokelat beng-beng cemilan kesukaannya.

"Iya, Pak Petrus?" Rohman berjalan mendekati bapak tua tadi.
"Aku melihatmu berangkat kerja agak siangan dan aku...tidak pernah melihatmu pulang di malam hari hingga esok hari aku melihatmu kembali berangkat kerja agak siangan." Pak Petrus mengambil nafas sesaat karena mengeluarkan kalimat yang agak panjang.
"Saya hanya menjalankan apa yang menjadi kewajiban saya Pak. Saya pulang dari bekerja juga karena saya anggap kewajiban saya di hari itu sudah selesai." Jawab Rohman sambil duduk di bangku semen di samping Pak Petrus.
"Ayo ikut aku !" Pak Petrus mengajak Rohman ke arah rumahnya yang selama ini menjadi misteri bagi tetangga-tetangga.

Petrus Edward, lingkungan mengenalnya sebagai seorang dosen di sebuah universitas swasta di Jakarta, mengajar mata kuliah Sastra Rusia dan pernah menikah sekali dan istrinya sudah meninggal 20 tahun lalu. Sepeninggal istrinya, Pak Petrus sama sekali tidak memiliki sanak saudara karena kebetulan selama pernikahannya, dia tidak pernah memiliki putra.

"Silahkan masuk Rohman, duduk di sofa sana anggap rumah sendiri dan berlakulah senyaman mungkin!" Pak Petrus mempersilakan Rohman duduk di atas sofa yang sangat nyaman, berlapis bludru berwarna biru gelap dan terlihat seekor kucing persia dengan bulu lebatnya tertidur di atas sofa tadi.

"Wow, Bapak pelihara kucing rupanya? Seumur-umur saya menjadi tetangga Bapak saya pikir Bapak benar-benar hidup sendiri?" Rohman akan selalu tertarik dengan yang namanya kucing. Di rumahnya selalu ada saja kucing yang tiba-tiba bermain entah dari mana. Terakhir kucing peliharaannya mati dan bangkainya ditemukan teronggok di selokan depan rumah Pak RT. Rohman tak mampu melihat karena tidak tega melihat kucing kesayangannya mati dengan sangat mengenaskan. Ada yang menyiksa kucing Rohman yang bernama Gandrung dan telah dipeliharanya 4 tahun terakhir. Setelah Gandrung pergi, hanya berselang 2 hari ada kucing yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah Rohman dan kucing itu tiba-tiba pula bersikap manja terhadap Rohman. Kemudian Rohman memberinya nama Bejo...tidak perlu ditanya darimana inspirasi nama tersebut diperolehnya.

"Itu Luce, sahabat sejati saya yang mungkin akan menemani sisa hidup saya." Pak Petrus memperkenalkan kucingnya yang bernama Luce kepada Rohman.
"Apa dia jinak?" Rohman menyelidik.
"Aku pikir kamu tidak perlu menanyakan hal tersebut. Aku tau seumur hidupmu selalu ada kucing yang kamu pelihara. Bukan begitu Man?" Pak Petrus membawakan sekotak camilan berisi coklat bertabur choco chip dan secangkir coklat panas.
"Wah Pak Petrus tau rupanya?hahaha...Saya memang pecinta kucing dan Bapak tau?Pernah saya tidak keluar kamar selama satu minggu karena kucing kesayangan saya mati diracun orang dan bangkainya ditemukan di atas loteng rumah saya." Rohman langsung mengelus-elus Luce yang sangat menggemaskan.
"Ponirin!" Pak Petus bergumam pelan.
"Ya betul...Ponirin. Pak Petrus tau juga rupanya?"
"Ponirin itu kucing pintar, setipa pagi dia ke rumahku untuk sekedar membuat gaduh. Mungkin maksudnya ingin membangunkan kami." Pak Petrus tersenyum. "Hal yang tidak mungkin aku lupakan dari Ponirin adalah, dia selalu menemani istriku di rumah ketika aku sedang dinas."

27 Tahun Rohman bertetangga dengan Pak Petrus tapi dia tidak mengetahui sama sekali hal tersebut. Hal itu membuat Rohman bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ingin Pak Petrus sampaikan di sore itu.
 
"Rohman, bagaimana kabar pekerjaanmu?Baik-baik sajakah?" Pak Petrus kembali mengeluarkan sebuah pertanyaan yang menurut Rohman itu bukan urusannya.
"Maaf Pak, menurut saya ini aneh karena kita belum pernah terlibat percakapan seperti ini sebelumnya?" Rohman menyela pertanyaan Pak Petrus.
"Rohman, aku tau apa yang menjadi pekerjaanmu sekarang. Masa aku kerja dulu juga sepertimu. Kamu tau apa yang akan dilakukan oleh negara ini tapi kamu coba menutupinya kepada semua orang yang bertanya kepadamu. Bahkan kita harus selalu bersandiwara dengan keluarga di rumah karena mereka tidak akan pernah mengetahui dan tidak akan pernah percaya bahkan ketika kita berbicara tentang sesuatu hal yang serius, buka begitu?" Pak Petrus bertanya serius.

"Apa yang dapat saya peroleh dari percakapan semacam ini?" Rohman apatis.
"Begini Rohman, tidak ada yang akan mengatakan kondisi saat ini adalah kondisi yang terbaik dan diharapkan oleh kita semua."
"Kita semua?" Rohman bingung.
"Iya kita semua, kondisi yang membuat kita tidak mampu untuk sekedar bermimpi apa yang akan kita lakukan untuk penerus kita ke depan." Pak Petrus merangkul Luce, kucing kesayangannya dan meletakannya di atas pangkuan.
"Oke Pak, saya coba memahami apa yang akan kita diskusikan." Rohman mulai serius. "Mengapa jadi begini?Salahkah sistem yang selama ini kita bangun?" pertanyaan pertama keluar dari mulut Rohman.

Pak Petrus meninggalkan Rohman, mengambil sebuah bingkai foto di laci lemari jati di pojok ruangan kemudian meminta Rohman untuk melihatnya.

"Siapa ini Pak Petrus?" Rohman bertanya sambil melap bingkai foto dengan bahu tangan.
"Itu saya sekitar tahun 70an awal, saat itulah karier saya dimulai."
"Karier? Saya pikir selama ini Bapak seorang dosen lalu mengapa di foto ini Bapak mengenakan seragam layaknya bodyguard?"
"Saya bukan dosen dan tidak pernah sekalipun mengajar...kalau sekedar presentasi di depan para prajurit mungkin sering saya lakukan."
"Lalu siapa Bapak sebenarnya? Apa Bapak seperti yang selama ini saya pikirkan?"
"Apa yang kamu pikirkan selama ini?" Pak Petrus mendengarkan serius.
"Saya selalu berpikir Bapak ini seorang In.."
"Salah!Jangan pernah sekalipun kamu berpikir bahwa saya apa yang seperti kamu pikirkan." Raut wajah Pak Petrus berubah serius.

"Saya hanya pengabdi...saya abdikan seumur hidup saya untuk bangsa ini." Pak Petrus memandang jauh ke langit-langit ruangan.
"Saya pikir Bapak mengabdi untuk pemimpin saat itu, heh..." Rohman senyum menyelidik.
"Cerdas pula rupanya kau Rohman, tapi tidak secerdas saya dulu."
"Itu menurut Bapak, minimal saya sudah mampu melepaskan diri saya dari lingkungan setan ini. Anak putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, tawuran warga, penyalahgunaan NARKOBA dan segala macam kebusukan yang ada di lingkungan ini berhasil saya hindari.
"Oke, saya sudah melihat potensi itu sejak kecil."
"Bapak sok tahu! Waktu saya kecil Bapak sama sekali tidak pernah terlihat oleh kita para tetangga di sini bagaimana Bapak mampu memprediksi akan seperti apa saya sekarang?"
"Kamu mungkin tidak melihat saya, tapi saya?Saya ingat saat Bulan Puasa pagi hari kamu bermain bola akan tetapi kamu tetap puasa hingga maghrib tiba. Saya ingat sewaktu kamu SD hingga SMP tiap pagi kamu sudah dijemput oleh mobil jemputan sekitar Pkl.05.00 karena kamu dijemput pertama kali sebelum murid yang lain. Saya lihat kamu lebih memilih motor Vespa disaat murid SMA lain memilih motor bebek atau motor "lelaki" untuk menarik lawan jenis, dan saya masih melihat hal lain yang tidak saya lihat di anak remaja lain seumuranmu."
 "Oke...jadi selama ini Bapak memata-matai saya?Saya jadi merasa risih sendiri, apa yang Bapak harapkan?Bapak menyukai saya?" mata menyelidik.
"Jaga ucapanmu!" Pak Petrus naik darah.
"Lalu?"
"Saya mencoba mencaritahu apa yang dapat saya pelajari dari kamu." Pak Petrus berdiri mengambil album foto yang diselimuti debu di atas rak TV dan memberikannya kepada Rohman.
"Apa yang dapat Bapak pelajari dari saya?Semakin tidak paham saya dengan percakapan ini?" Rohman membuka-buka halaman demi halaman album foto tua yang diberikan Pak Petrus.
"Saya ingin mempelajari ketidakkonsistenan kamu dalam menjalani hidup." Pak Petrus menjawab singkat.
"Ketidak..."
"Iya...apa menurutmu hidupmu sudah cukup teratur?Justru ketidakkonsistenan mu membuat kamu bertahan bahkan saya anggap kamu memiliki potensi besar suatu saat."

"Pak Petrus ini siapa?Jangan bilang ini Jenderal..." Tanya Rohman sambil menunjuk salah satu foto kusam di dalam album.
"Iya. Tapi dulu belum jadi Jenderal. Dulu berjuang bersama saya...hingga saya merasakan adanya perbedaan visi dalam menjalani perjuangan itu sendiri." pandangan kosong ke depan.
"Perbedaan visi itu.."
"Baru ditemukan setelah 10tahun bertugas bersama." jawab Pak Petrus singkat.
"Bagaimana kalo perbedaan visi ditemukan di awal-awal  perjumpaan?"
"Aha...sudah mulai terhubung kita rupanya?" mendadak mimik wajah Pak Petrus menjadi semangat.
"Sudah, jangan terlalu banyak menyamakan kondisi kita terlebih dahulu Pak!Tolong dijawab pertanyaan saya tadi?" dahi mengernyit.
"Saya hanya bisa menjawab, beri waktu sepenggalan nafas untuk menjawab tegas."
"Oke..." Rohman membalas singkat.

Masih dalam suasana yang tidak tergambar jelas maknanya, keduanya saling diam. Rohman masih melihat-lihat sekeliling ruangan yang diliputi dengan berbagai misteri. sementara Pak Petrus sibuk mengelus-elus Luce yang terlihat tenang berada di pangkuan Pak Petrus.

Selang 5 menit tanpa suara, Pak Petrus menatap tajam ke Rohman seraya berkata perlahan dengan suaranya yang mendadak parau.

"Rohman dengarkan saya!" Tangan Pak Petrus menarik bahu Rohman untuk meminta perhatian. "Bagaimana alam ini dalam waktu dekat kamu gambarkan?"
"Maksud..."
"Jawab saja!" Pak Petrus mengencangkan remasan di bahu Rohman.
"Alam ini...berkabut mungkin?" bahu Rohman mengangkat tanda tidak begitu yakin.

"Dengarkan saya...kamu..bertahan saja dulu. Alam menunggu momentum, Rohman!" perlahan melemahkan remasannya. "Kita tetap jernih menatap waktu dan bersabar!"


"Siap Jenderal!"