Sabtu, 23 Oktober 2010

Out of The Box (disuruh tapi ga dilakuin)






Beberapa waktu yang lalu waktu Saya ikut Diklat Fungsional Perencana Pertama di Salemba tiba-tiba seorang pemateri yang kebetulan juga salah satu Direktur di tempat Saya bekerja bilang "Pancasila itu kalo iseng-iseng dipikir ternyata bener juga ya?" awal Saya langsung bengong dan bergumam dalam hati "Set dah...ini orang udah jadi Direktur udah kerja sampe tua baru sadar kalo Pancasila ada benernya juga?Dari dulu dia kerja apa ga ada landasannya ya?Padahal ini kita lagi ngomongin Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Akhirnya karena emang mungkin karena sifat Saya yang "Spontaneous" atau temen sebelah bilang rada reaksionis hihihi...langsung aja Saya mengangkat tangan dan mengoceh sekenanya yang kutipannya sebagai berikut.

"Pak., boleh Saya nanya?"
"Iya silahkan..."
"Kalo menurut Saya Pancasila itu ga sembarangan kaya gitu. masalahnya sekarang berapa persen sih dari para pemimpin kita yang paham sama Pancasila?Jangan-jangan ilmu mereka ga sampe kesana?Maaf ya setahu Saya konsep Pancasila itu ditelan secara bulat-bulat di dalam Sidang PBB pada saat Presiden Soekarno membacakan pidatonya di depan para pemimpin negara lain. Saya sangat menyesal ketika mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dihapus dan diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Jadi generasi muda saat ini hanya diajarkan bagaimana mereka harus taat kepada pemerintah., taat...taat dan tidak lebih kepada taat tanpa mereka diberi penjelasan taat yang seperti apa dan mengapa mereka harus taat? Apa landasan untuk taat., atau bagaimana masyarakat harus taat ngga jelas." dan so on dan so on....


Lalu jawaban apa yang Saya dapat?
"Ya memang Saya sudah bilang kalo kita lagi melamun kemudian berpikir bahwa Pancasila itu ternyata benar juga? Oke generasi muda kita harus belajar Pancasila tapi minimal harus ada variasi dalam mengajarkan hal tersebut jangan membosankan seperti yang lalu-lalu."

Oke Saya tangkap masalahnya adalah cara pembelajaran yang menjemukkan yang membuat orang enggan untuk memahami Pancasila (khususnya).

Sekarang akhirnya Saya berargumen sendiri. Saya mengikuti diklat ini dengan metode yang begitu-begitu saja selama sebulan dan masih ada sebulan ke depan. Masuk jam 8 pagi kemudian duduk hingga Pkl. 09.30 dan coffe break 15 menit kemudian
dijejelin ceramah lagi sampai waktu ishoma atau kalo dihitung2 minimal 7 jam sehari selama 2 bulan Saya harus duduk mendengarkan ceramah yang "sangat berbobot" dan 98% di akhir ceramah itu selalu didengungkan frase yang sama "Baik Bapak Ibu sekalian., ini adalah tugas Bapak dan Ibu sekalian merencanakan yang terbaik dari problematika yang ada untuk kemajuan bangsa ini ke depannya. Sekian terima kasih atas perhatiannya." ampun DJ...

Inilah Indonesia., dimana masyarakatnya dididik dari SD sampai tua dengan cara yang
monistik dan sangat membosankan hingga mungkin bisa sampai lupa hari karena setiap hari melakukan hal yang itu-itu aja. Pendidikan yang kata Pak Direktur tadi sangat membosankan dengan hanya duduk di dalam kelas mendengarkan ceramah yang berisi tapi kurang menarik toh akhirnya tetap dilakukan karena para guru itu harus tetap bekerja sesuai "aturan main".

Sama seperti cara para pejabat bangsa ini memimpin., sangat
monistik yang dulu otoriter yang sekarang boleh bergerak bebas tapi "silahkan baca aturan main dulu" ya sami mawon yang akhirnya mengakibatkan pemikiran dari rakyatnya menjadi kerdil.

Kemarin kita ngomong globalisasi sangat deras arusnya sehingga kita harus melindungi rakyat kita yang masih rentan dan minim tentang informasi bahaya globalisasi (ranah ideal) tapi kemudian orang yang sama bilang., kita ini tidak bisa tidak harus bergaul dengan dunia internasional agar tidak dikucilkan. Lah globalisasi sendiri itu paradigma yang dibuat sama negara lain dan kita harus ngikutin juga bukan malah memajukan rakyatnya dulu.,
gembel..

Di Indonesia masih ada Suku Asmat yang sangat kratif namun hidupnya di dalam hutan., Suku Dayak yang sangat memegang teguh tradisi nenek moyang dan juga hidup di wilayah yang tidak terjamah globalisasi., atau tidak perlu jauh-jauh ada Suku Baduy yang tidak begitu jauh dari pusat negara itu saja masih belum masuk televisi eh kita mau sok-sok'an ikut globalisasi. Kalo inti globalisasi adalah berlari sendiri dan menyelamatkan hidup sendiri maka tidak perlu ada
state alias negara dan tidak perlu ada government atau Pemerintah tinggal yang bisa survive sama arus globalisasi dia yang hidup.

Di atas memang nanmpaknya berantakan ya alur ceritanya? Ini Saya sok Out of the box hahaha...tapi Saya mau kasih sedikit clue aja tentang tulisan kali ini.

1. Semua berawal dari pendidikan dasar atau kalo di Indonesia disebut Sekolah Dasar atau sekolah dengan jenjang sejenis lainnya. Kalo memang cara belajar-mengajar selama ini sangat monoton dan membosankan maka memang harus ada cara baru mengajar generasi penerus bangsa ini. Ajak anak didik keluar kelas bertemu masyarakat dan melihat pasar rakyat yang becek dan bau namun itu realita., jangan anak SD diajarin otonomi daerah atau tentang kapitalis dan aliran-aliran lainnya kemudian pulang dikasih setumpuk tugas untuk dikerjakan. Ini buat generasi penerus bangsa yang masih sekolah jadi
antisosial yang penting mengejar prestasi tapi freak ga tau nama tetangga 3 rumah sebelah kanan dan 3 rumah sebelah kiri. Sekarang memang sudah ada inisiatif untuk mengadakan kompetisi belajar kreatif tapi sangat disayangkan ini masih sebatas proyek yang intinya kompetisi diadakan sebatas proyek dengan anggaran per term waktu bukan berkelanjutan. Alhasil setelah terpilih guru-guru kreatif dan dikasih hadiah kemudian kita ga ngurus ke depan mau diapain tuh konsep. Saya pribadi sebagai yang berada di dalam lingkaran pemerintah sebenernya sedih namun tidak bisa bergerak di ranah kebijakan karena memang ebetulan wewenang Saya bukan di bidang itu. Tapi Saya berpikir di ranah kebijakan minimal harus ada Peraturan Menteri tentang Standar Pendidikan Nasional bukan Sistem Pendidikan Nasional karena kalo bicara Sistem kita bicara ibarat mesin yang harus bergerak "seperti ini" dan tidak bisa bergerak jika dilakukan dengan "cara itu"nah kalo bicara Standar Minimal Pendidikan maka kita bicara bagaimana kualitas minimal pendidikan yang harus diterima oleh para anak didik dari Sabang sampai Merauke dan itu sangat realistis dilakukan karena kita sadar kualitas segala instrumen di satu wilayah dengan wilayah lain di Indonesia itu beragam dan tidak bisa disamaratakan. Jadi ketika kita bicara sistem maka pendidikan di Jakarta akan lebih mampu beradaptasi ketimbang pendidikan di wilayah Bangka Belitung misalkan (jauh banget ya hehehe...)

Pendidikan yang kreatif dan mendidik ini sebagai potensi dasar untuk menciptakan generasi muda Indonesia yang kreatif dan adaptif dengan lingkungan sekitar. Bagaimana cara menghormati orang tua atau bagaimana cara berjalan ketika melewati orang lain yang sedang duduk minimal bisa diterapka kepada generasi penerus bangsa bukan bagaimana otonomi daerah diajarkan di bangku Sekolah Dasar.

2. Orang tua adalah sebagai penanggungjawab utama akan kualitas anak-anak mereka yang merupakan agen penerus bangsa. Jangan terlalu berharap pada guru di sekolah atau di tempat les misalkan karena orang tua sudah mengenal sifat anaknya sejak lahir. Dan yang paling penting adalah jangan menjadikan anak sebagai "samsak" dari balas dendam orang tua. Balas dendam di sini bisa diargumentasikan bermacam-macam ya? Misalkan orang tua dulu gagal menjadi dokter maka anak dari kecil dipaksa belajar untuk menjadi dokter kelak. Memproyeksikan anak menjadi dokter adalah baik tapi memaksa dengan menggunakan kaca mata kuda agar anak menjadi dokter itu yang bahaya. Setiap anak punya hati dan pilihan dan mereka punya hak untuk berjuang menjalankan hidup dengan hatinya dan memilih pilihan hidup dengan hatinya pula. Sekali lagi orang tua hanya bertugas sebagai "guru silat di film-film Kung-Fu" yang bermodal tongkat kecil untuk mengarahkan jika ada yang salah., memukul dengan hati untuk memberi semangat dan memberikan tongkat tersebut sebagai langkah estafet untuk generasi selanjutnya. Saya pasti selalu akan berada di dalam dilema ketika berbicara tentang bagaimana seharusnya orang tua memperlakukan anak karena saya sendiri belum memiliki anak hihihi...tapi minimal Saya juga membantu orang tua mengarahkan adik Saya yang sudah duduk di kelas 3 SMA dan memiliki bakat menjadi sutradara (bukan menjadi pegawai seperti yang selalu dihembuskan sihirnya oleh kedua orang tua). Jika orang tua Indonesia mau meluangkan sedikit waktunya minimal menceritakan dongeng sebelum tidur sejak kecil maka percayalah akan ada ikatan bathin yang sangat kuat bahkan anak akan paham apa maunya orang tua dengan hanya mengernyitkan dahi., tersenyum kecil atau dengan alis yang sedikit mengangkat tidak perlu dengan mengeluarkan suara. Ekonomi terkadang menjauhkan kita dengan anak kita karena kita harus selalu mengejarnya dengan dalih untuk mensejahterakan keluarga atau banyak yang bilang "Ini untuk anak juga." tapi kebahagiaan anak bukan hanya dari lahir saja tapi ada bathin yang selalu berkata "Mah., Pah...Aku sangat beruntung punya orang tua seperti kalian dan suatu saat Aku punya anak maka Aku akan menjadi orang tua seperti kalian."

3. Pemerintah?
No Comment hahaha...ga adil ya?
Saya adalah perencana (sesuai tupoksi pekerjaan) dan Saya sudah melihat banyak konsep perencanaan negara ini yang cukup "Out of The Box" namun masih belum dapat terlaksana secara optimal. Ini ga lebih karena "pemerintah punya mulut tapi nggak punya kesamaan bahasa". Misalkan Saya ngomong bahasa Hindi maka pemerintah di depan muka saya ngomong bahasa Swahili (
What??) Pikiran memang berbeda-beda tapi minimal hati kita sama., ibarat orang nikah kan mayoritas terdiri dari dua orang yang alat kelaminnya beda., dari keluarga yang beda., latar belakang yang beda tapi mereka bisa menikah dan punya keturunan. Itu Saya sangat yakin karena mereka punya pemikiran yang sama sehingga terciptalah cita-cita yang direncanakan sejak awal.

Contoh konkret di bidang pendidikan. Di tahap perencanaan sepakat anggaran pendidikan 20% dari APBN (kalo sekarang ada mahasiswa yang teriak-teriak nyuruh meningkatkan anggaran pendidikan hingga 20% maka Saya akan dengan sukarela menunjukkan angka tersebut dan jika belum maksimal maka akan Saya jadikan ini sebagai introspeksi) Nah dari perencanaan udah 20% dari wakil rakyat juga sudah sepakat kemudian diwujudkan dalam bentuk program-program menjadi sangat kreatif. Misalkan pendidikan guru yang mau melanjutkan sekolah kalo ngga di luar negeri nanti dibilang
gak asik jadi ada beasiswa pendidikan guru atau dosen keluar negeri. Duit belum habis., diadain hibah kompetisi penelitian buat para guru dan dosen yang menyertakan anak didik (yang mereka kenal)., jadi peserta didik yang potensial namun tidak dikenal maka jangan berharap akan diajak ikut penelitian. Hasilnya? Ada report berupa makalah beberapa lembar sudah menjadi cukup bukti untuk mengeluarkan duit., kroscek di lapangan ngapain juga repot-repot? Lomba Karya Tulis Siswa/Mahasiswa yang tujuan idealnya menjaring potensi anak didik dengan cara menulis tentang ide-ide kreatif kemudian dipilih yang menang dan dikasih hadiah. Tulisan menjadi hak milik panitia tapi siswa/mahasiswa yang nulis ngga ngerti tulisannya mau dijadikan apa?Tugas anak didik sebatas memberi ide kreatif untuk dibaca dewan juri kemudian yang bagus dikasih hadiah tidak ada kelanjutan (sekali lagi). Jadi anak didik kreatif di Indonesia tugasnya hanya menyalurkan ide dalam bentuk tulisan bukan fakta di lapangan., sisi positif mereka bilang "semoga tulisan kita dibaca pemerintah terkait sehingga bisa dimanfaatkan" faktanya?Wallahualam mungkin tumpukan karya tulis yang tidak terpilih dan jumlahnya ribuan hanya akan menjadi bahan rezeki untuk OB di kantor dengan cara diloak kiloan ooppss....Ada yang diberi modal untuk ide kreatif dalam bentuk bisnis namun tidak ada kewajiban untuk menjadikan potensi bisnis itu berkembang pesat tinggal yang menang yang ngurus bisnisnya sendiri. Untuk kebijakan pendidikan yang paling fenomenal ya tidak lain tidak bukan "Standar Nilai Ujian Akhir"., mau tau kenapa? Baca tulisan Saya sebelumnya.

Pemerintah Indonesia (termasuk saya) belum mampu menciptakan konsep komunikasi yang "Out of The Box" yang satu bahasa., satu pemahaman., satu visi untuk rakyat (Saya pribadi mohon maaf). Konsep bagus sudah ada di dokumen-dokumen tapi menyatukan hati dengan bahasa yang satu nampaknya masih susah diwujudkan. Pemerintah butuh rakyat untuk memantau., untuk mencari solusi., untuk mengingatkan bahwa pemerintah (termasuk Saya) hidup dan digaji dari duit rakyat. Ga boleh mencla-mencle., ga boleh egois., harus bersatu., harus bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat harus menampar Pemerintah yang "tidur saat bertugas" ngga usah ragu rakyat harus bersatu. Silahkan berkumpul cari cara baru menyampaikan aspirasi ke pemerintah kalo "wakil rakyat" belum mampu mengakomodasikan dengan baik dan sesuai harapan. Aspirasi yang disampaikan juga harus dipantau keberlanjutannya jangan hanya secara spontan kemudian hilang., karena pemerintah juga kadang khilaf dan menjadi pikun karena rutinitas yang mencengkram dalam doktrinasi pikiran.


Nah....itu dia tadi ketiga komponen bangsa yang harus bersinergi dan befikir "Out of The Box". Kenapa hanya tiga itu? Ya karena ketiga komponen itu yang di Indonesia saat ini telah membuat bangsa ini menjadi terpuruk dan teancam tidak mewarisi kebahagiaan lahir bathin kepada generasi penerus bangsa selanjutnya. Ketiga elemen itu yang harus bertanggungjawab memperbaiki segalanya (elemen lain ikut mengiringi). Saya melihat potensi generasi muda Indonesia sangat besar. Mereka sudah mulai bersatu., mereka sudah menciptakan hal-hal baru yang luar biasa., mereka sudah mulai sadar bahwa bumi ini tempat terbaik untuk mengekspresikan segala potensi diri. Tapi mereka tidak bisa banyak berharap kepada para "orang tua" mereka yang bertingkah kolot dan tidak mau mendengarkan aspirasi generasi muda yang melanjutkan tongkat estafet negara ini. Mereka perlu jati diri yang selama ini telah dilupakan oleh generasi sebelumnya. Kalo Pancasila memang dasar filosofis berdirinya Indonesia dirasa kurang menarik untuk dipelajari., maka bukan Pancasila yang harus diganti., tapi bagaimana pola belajar yang menarik untuk menanamkan Pancasila kepada generasi penerus bangsa Indonesia yang mulai kehilangan arah tujuan hidup.


Pancasila itu tumbuh dalam hati., bukan pelajaran yang harus dihapal dalam otak dan bisa lupa suatu saat. Sama seperti para pemimpin negara ini yang lupa telah mempelajari Pancasila.